CILEGON – Pasca sosialisasi Pilgub Banten terhadap komunitas waria di Kota Cilegon beberapa waktu lalu, sejumlah elemen masyarakat mengecam keras tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai telah mendukung legalisasi keberadaan gender LGBT.
Menyikapi tudingan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cilegon membantah jika pihaknya dalam hal ini mengakui legalitas gender LGBT.
Menurut Ketua KPU Fatullah, sosialisasi yang pihaknya lakukan terhadap komunitas waria bukan lantas mengakui keberadaan LGBT sebagai gender, namun adalah untuk meraup partisipasi pemilih dari semua kalangan termasuk dari kaum waria.
“Sosialisasi yang kami lakukan bukan kami melegalkan waria sebagai salah satu gender tapi dalam konteks kemanusiaan,” ujar Fatullah kepada Fakta Banten, Selasa (24/1).
Ditambahkan Fatullah, hingga saat ini KPU Cilegon masih menganggap waria adalah berstatus gender pria yang memiliki hak politik sama dengan warga yang lain.
“Mereka (waria – red) juga warga Indonesia yang memiliki hak politik sama dengan manusia yang lain,” imbuhnya.
Lebih lanjut, tujuan KPU melakukan sosialisasi kepada waria adalah karena banyaknya anggota komunitas tersebut, dan ini sama halnya dengan komunitas minoritas lainnya. KPU Cilegon ingin memberikan pemahaman yang sama dengan warga biasa.
“Waria sama halnya dengan komunitas yang lain yang berhak mendapatkan pemahaman demokrasi yang setara dengan warga normal yang lainnya. Sebagai penyelenggara Pemilu kami punya kewajiban untuk memberikan pendidikan politik kepada seluruh warga, termasuk kepada penyandang kebutuhan khusus atau Disabilitas,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII) Kota Cilegon Arif Irawan, mengecam apa yang dilakukan oleh KPU tersebut. PII menilai KPU secara tidak langsung telah mengamini adanya kaum transgender di Banten.
“Saya rasa ini keliru, Ketua KPU menyatakan bahwa kaum waria adalah kaum minoritas yang memiliki hak sama untuk memilih. Berarti secara tidak langsung KPU telah mengakui adanya kaum transgender tersebut di Indonesia,” kata Arif kepada Fakta Banten, Senin (23/1).
Pengakuan terhadap eksistensi suara waria dalam Pemilu, dinilai Arif merupakan bentuk pengakuan KPU yang mensejajarkan partisipasi atau suara kaum ulama maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan waria tersebut.
“Ini sama saja KPU ingin menyatakan bahwa partisipasi ulama atau kaum santri sama dengan partisipasi waria di Pilgub Banten. Atau juga PNS dan istri-istrinya yang belum lama ini juga dapat sosialisasi dari KPU, mereka (PNS) diposisikan sama dengan waria dalam hal partisipasi demokrasi. Apa namanya gak merendahkan ini?,” tegas Arif.
Arif pun merasa khawatir jika sikap melegalkan transgender ini terus dibiarkan apalagi oleh pihak yang memiliki kredibilitas di negeri ini, maka nantinya transgender bahkan keberadaan LGBT akan didorong menjadi legal secara hukum di Indonesia.
“Jelas ini bahaya, sebagai kaum muda Islam kami menolak transgender, ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dan dalam hukum Indonesia pun cuma ada dua jenis kelamin yang diakui, laki-laki dan perempuan, itu jelas. Yang kami tidak sukai bukan orangnya, namun cara berfikirnya saja,” tambah Arif. (*)