JAKARTA – Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jawa Timur, Jumat (15/3) pagi.
Dia akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama.
Jerat kasus korupsi pada Romi, sapaan Romahurmuziy, ini seakan mengingatkan kembali pada sosok Suryadharma Ali, mantan Ketua Umum PPP yang juga bekas Menteri Agama. Suryadharma kini tengah menjalani hukuman dalam kasus korupsi.
Kasus Suryadharma bermula dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebesar Rp80 triliun dengan bunga sekitar Rp2,3 triliun. Dari jumlah itu ada Rp230 miliar transaksi mencurigakan.
KPK pun menyelidiki kasus tersebut. Sejak awal 2014, KPK memeriksa sejumlah anggota Komisi VIII DPR RI, seperti Hasrul Azwar dan Jazuli Juwaini.
Pada 22 Mei 2014, Komisi Antirasuah menggeledah kantor Menteri Agama Suryadharma Ali. Di hari yang sama, Suryadharma pun ditetapkan tersangka pengelolaan biaya haji.
Dua tahun setelahnya, Suryadharma diputus bersalah dan diganjar 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider bulan kurungan serta uang pengganti Rp1,82 miliar.
Hukuman itu diperberat pada tingkat banding menjadi 10 tahun kurungan penjara, denda Rp300 juta, dan pencabutan hak politik selama lima tahun.
Meski ada kasus Suryadharma, PPP masih berhasil lolos ke parlemen dengan perolehan suara 6,53 persen suara dan mendapat 39 kursi di DPR RI.
Setelah Suryadharma terjerat korupsi, PPP goyang. PPP terbelah jadi dua kubu. Satu kubu dipimpin oleh Djan Faridz yang kemudian beralih ke Humprey Djemat. Sementara satu kubu lain dipimpin Romi.
Konflik menahun itu bahkan diseret ke jalur hukum. Mahkamah Agung, pada 12 Juni 2017, mengabulkan permohonan kubu Romy dan sekaligus menganulir putusan kasasi yang memenangkan kubu Djan Faridz.
Kubu Romi kemudian yang dinilai berhak mengikuti Pemilu 2019. Di Pilpres. PPP memberikan dukungan pada pasangan Joko Widodo – Maruf Amin. Sementara kubu Humprey Djemat meski tak ikut Pemilu mengarahkan dukungan pada Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai kasus Romy mirip dengan kasus SDA karena terjadi jelang pemilu.
Namun kasus Romy dinilai lebih parah karena posisinya di tim pemenangan Jokowi sangat krusial.
“Romi bagian dari TKN, aktor, otak pemenangan 01 (Jokowi-Ma’ruf). Kalau musibah tsunami itu menghinggapi, otomatis Jokowi akan terseret,” ujar Adi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (15/3).
Selain itu, posisi PPP juga lebih rapuh dari 2014. Pada 2014, partai belambang kakbah belum mengalami keretakan yang mengemuka.
Sementara saat ini PPP sedang sibuk melakukan konsolidasi di daerah-daerah pasca dualisme. Mereka juga masih harus “memerangi” PPP gerbong Humphrey Djemat yang merapat ke Prabowo.
Kondisi ini juga diperparah dengan elektabilitas PPP yang terancam tak lolos ambang batas parlemen 4 persen.
Survei dari Voxpol Center Research and Consulting menyebut elektabilitas PPP hanya 4,1 persen atau hanya 0,1 persen dari ambang batas parlemen. Sementara survei Charta Politika menyebut elektabilitas PPP 4,3 persen.
“Dengan ditangkapnya Gus Romi ini justru tsunami besar, berpotensi membuat PPP tidak akan lolos, musibah besar,” ujarnya.
Lebih lanjut Adi menyampaikan harus ada taktik gesit dari TKN untuk menyelamatkan gerbong Jokowi. Pasalnya Romi sudah terlanjur dikenal masyarakat sebagai tulang punggung TKN, khususnya di kalangan umat Islam.
“Ini secara langsung merusak kredibilitas petahana karena Romi cukup lekat dengan petahana, identik 01. Harus dilokalisir sebagai kasus personal Romi, tidak ada kaitannya dengan yang lain,” kata Adi. (*/CNN Indonesia)