SERANG – Sejumlah elemen masyarakat di Provinsi Banten mempertanyakan keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan mantan napi korupsi sebagai Caleg dalam Daftar Caleg Sementara (DCS) Pemilu 2019, di sejumlah daerah.
Keputusan Bawaslu tersebut dinilai telah mencederai semangat anti korupsi dalam melahirkan proses demokrasi yang berkualitas.
Diketahui, beberapa Bawaslu daerah meloloskan caleg mantan terpidana koruptor. Di antaranya Bawaslu DKI Jakarta, Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba.
Sementara di Provinsi Banten, sudah ada sejumlah caleg mantan narapidana kasus korupsi yang kini tengah mengajukan gugatan ke Bawaslu, yakni di tingkat Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang, dan Kota Cilegon.
Menyikapi hal ini, Koordinator Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) Nana Subana menjelaskan, keputusan Bawaslu itu tidak sejalan dengan kehendak publik untuk menghasilkan wakil rakyat yang terbebas dari kasus hukum dan memiliki moralitas yang baik.
“Peraturan KPU yang secara tegas menolak pencalonan mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah terobosan yang harus diapresiasi karena ketentuan itu berupaya meminimalisasi lembaga legislatif yang kotor dari praktek kejahatan,” kata Nana dalam siaran persnya, Sabtu (1/9/2018).
Nana menuturkan, pihaknya dalam waktu dekat akan menggalang kekuatan sipil di Provinsi Banten untuk menolak keputusan Bawaslu tersebut. Terlebih sejumlah parpol sudah berupaya konsisten mengikuti peraturan KPU.
“Artinya sejumlah Parpol sudah secara baik mengikuti aturan tersebut, lantas mengapa Bawaslu mengabulkan gugatan oknum caleg tertentu? Jelas ini tidak sehat dalam upaya menghasilkan lembaga legislatif yang berintegritas,” ujarnya.
Pada 7 Agustus 2018 lalu, JRDP diketahui menggelar diskusi publik menolak politisi busuk di sebuah rumah makan di Kabupaten Tangerang. Saat itu sejumlah pihak menolak Parpol yang mengajukan caleg bermasalah, termasuk caleg mantan napi korupsi.
Karena itu, JRDP meminta kepada Bawaslu di Banten agar tidak mengikuti seperti keputusan di daerah lain, yang telah menerima gugatan dan meloloskan Caleg Koruptor bisa ikut serta pada Pemilu 2019.
Hal senada diungkapkan Koordinator Relawan FBn Lulu Jamaludin. Dia menilai keputusan Bawaslu tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi upaya demokrasi menghasilkan pemimpin bersih dan berintegritas.
Lulu berharap Bawaslu mengkaji ulang keputusan tersebut. Terlebih di Banten sekarang, kata Lulu, beberapa Bawaslu sedang menggelar sidang sengketa yang diajukan oleh caleg eks koruptor.
“Ini akan ada dua dinamika yang berbeda. Ada parpol yang taat dengan peraturan KPU itu. Artinya ketika caleg eks koruptor itu dicoret oleh KPU, maka parpol melakukan pergantian. Dan tidak melakukan gugatan. Sisi lain ada parpol yang menggugat keputusan KPU tersebut. Tentu nanti rakyat bisa menilai sikap parpol tersebut,” kata Lulu.
Aktivis Barisan Perempuan Banten Merta menegaskan, Bawaslu seperti mengabaikan aspirasi publik yang menghendaki lembaga parlemen yang bersih. Faktanya, kata Merta, tidak sedikit anggota parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah yang terseret kasus hukum.
“Jika kita sudah bermufakat bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, maka jangan beri ruang mereka yang sudah melakukan itu. Kami juga secara spesifik mengapresiasi keputusan KPU ini karena tidak memberi ruang kepada mantan terpidana kasus kejahatan seksual terhadap anak. Keputusan ini sudah sangat progresif. Sayangnya Bawaslu punya cara pandang yang berbeda dan itu bagi kami harus diluruskan,” kata Merta.
Diketahui, penetapan Daftar Caleg Tetap (DCT) oleh KPU akan dilakukan serentak tanggal 20 September 2018 mendatang. Dalam pasal 7 ayat 1 huruf H Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan disebutkan, Parpol dilarang mengajukan caleg mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak. (*/FBn)