SERANG – Pemilu 2019 mendatang diprediksi tidak akan menghasilkan kualitas pemimpin yang mumpuni. Ini terjadi karena partai politik peserta Pemilu sama sekali abai terhadap ideologi. Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa rekrutmen para caleg bukan didasari oleh ukuran obyektif keilmuan dan integritas, tapi semata faktor subyektifitas kehendak pemimpin parpol dan kebutuhan pragmatis parpol.
Demikian kesimpulan kelas ketiga Class of Democracy and Elections (CODE) yang digelar Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP), Rabu 27 Februari 2019.
Diskusi menghadirkan Anggota KPU Kota Serang Fierly Murdlyat Mabrurri sebagai pemantik materi bertema Tata Negara dan Kepemiluan.
Fikri Dzikrillah, peserta CODE, menganalisa bahwa apatisme rakyat memilih dalam pemilu semata terjadi karena tidak ada pembeda ideology antar satu parpol dengan parpol lainnya. Pemilih, kata Fikri, memastikan bahwa siapapun yang menang pemilu, kelak akan berpenampilan sama ketika mereka menjabat di lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Jadi ke depan layak kita usulkan agar ada pembaharuan sistem kepartaian di Indonesia. Proses seleksi kepemimpinan di setiap parpol misalkan bisa dimulai dari seleksi yang dilakukan secara terbuka oleh sebuah tim berisikan para tokoh dari beberapa disiplin keilmuan. Nanti hasilnya baru diserahkan ke ketua parpol untuk disahkan. Kalau sekarang kan rakyat disuguhi para caleg yang kita tidak tahu apa latar belakang yang bersangkutan,” ucapnya.
Rizal Hakiki, peserta CODE, menyatakan nihilnya ideologi parpol berdampak terhadap menjamurnya praktek pragmatisme. Parpol memilih caleg dengan parameter seberapa kuat sumber keuangan si calon tersebut.
“Pembatasan pencalonan seorang presiden sekalipun kami yakini tidak akan menghasilkan perubahan signifikan bagi corak pemerintahan ke depan sepanjang parpol tidak memiliki ideologi yang kuat dan secara konsisten mereka anut dan jalankan,” kata Rizal.
Fierly MM menganalisa sejarah kepemiluan di Indonesia dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku pada setiap periodesasi kekuasaan. Dijelaskan bahwa, sistem kepemiluan dan kepartaian akan sangat mempengaruhi produk lembaga negara yang dihasilkan.
“KPU hanya menerima susunan daftar caleg dari setiap parpol. Bagaimana teknis rekrutmen itu berlangsung, tentu menjadi kewenangan parpol itu. KPU sama sekali tidak dilibatkan. Diskusi ini menjadi bahan pertimbangan KPU ke depan. Bahwa rekrutmen caleg harus dilakukan secara terbuka, mendahulukan kompetensi, serta menjauhi praktek jual beli kursi. Idelanya memang harus demikian,” kata Fierly.
The Chief Commite CODE Anang Azhari menyatakan, berkaca pada hasil diskusi, para peserta diberi tugas untuk melakukan analisa terhadap 16 parpol peserta Pemilu 2019.
“Masing-masing peserta diharuskan menganalisa sebuah parpol. Hasil analisa mereka nanti akan menjadi bagian utuh dari rekomendasi yang akan kami sampaikan untuk perbaikan UU parpol ke depan. Ini adalah kelas ketiga CODE dari tujuh kali pertemuan yang direncanakan,” kata Anang. (*/Red)