Ifan dan Puput sempat berdagang nasi goreng dengan modal usaha dari uang hasil kerjanya di Bogor. Namun sayang usahanya bangkrut karena banyak diutangi pekerja proyek yang tak tetap.
“Pernah dagang, tapi modalnya habis dihutangin sama pelanggan,” lanjut cerita Ifan.
Awalnya mereka tinggal dengan keluarga, kemudian mengontrak, dan karena tidak mampu bayar lagi akhirnya memutuskan untuk pindah ke gubuk tersebut.
“Dulunya tempat ini semak belukar. Namun karena saya bersihkan, ya seperti ini sekarang sudah mulai rapih. Sambil saya juga menanam singkong, ini sudah mulai besar-besar singkongnya,” ungkapnya dengan nada lirih.
Ketika kami menanyai perihal kenapa tidak balik lagi tinggal di rumahnya atau di rumah mertuanya, ia mengaku tidak bisa tinggal di rumahnya karena pernikahaannnya tidak direstui keluarga ibu tiri dari Ifan.
“Ibu tidak cocok dengan istri saya, lebih baik kami hidup mandiri di luar saja,” ungkap pria yang mengaku berpendidikan hingga SMA ini.
Dia juga tidak mau tinggal di rumah mertuanya karena malu jika tidak bekerja. Puput, istri Ifan ini merupakan wanita yang berasal dari Lampung.
Ketika disinggung darimana mereka mendapatkan makan untuk menghidupi keluarganya setiap hari saat ini, Ifan mengaku mendapatkan dari warga yang baik hati mengirimi makanan untuknya, dan kadang dari kerja serabutan ketika warga di sekitarnya meminta bantuan.
Bahkan pernah satu waktu keluarga kecil ini tidak punya makanan. Kadangkala jika tidak ada sama sekali, Ifan dan keluarganya hanya memakan singkong yang ia tanam.
“Pernah dua hari gak ada makanan,” akunya.
“Tapi banyak warga di sini yang baik hati biasanya mengantarkan makanan untuk kami. Kadang juga saya diminta bantu-bantu, seperti mengambilkan kayu. Dan kadang jika tidak ada sama sekali, kami makan dengan singkong ini yang kami tanam,” ungkapnya menceritakan kepada Fakta Banten bagaimana Ia survive dengan kehidupannya.
Sementara untuk mandi keluarga Ifan ini pergi ke mushola, di perkampungan warga Cempaka, yang jaraknya sekitar 300 meter. Untuk mencuci pakaian dan piring, karena gubuknya di pinggir muara, Puput sang istri tinggal turun ke air yang ada persis di sebelah gubuknya itu.
Setelah hampir satu jam kami berbincang dan beramah tamah dengan Ifan dan keluarga kecilnya, waktunya menjelang magrib dan langit mulai gelap.
Kami melihat tidak ada penerangan di gubuk keluarga itu, karena lahan semak belukar itu memang tidak ada aliran listrik. Ifan mengaku membuat penerangan dengan menyalakan lilin di dalam gubuk.
“Kalau biar terang sekitar gubuk, ya kami bakar-bakaran kayu dan ranting pohon,” ujarnya.
Karena lahan kosong yang dulunya semak belukar, dan juga di bantaran muara kali, Ifan mengaku kerap menemukan ular besar dan juga binatang liar. Karenanya jika malam hari, ayah dari Sultan ini mengaku selalu terjaga tidak tidur untuk memberi rasa aman kepada istri dan anaknya.
“Malam disini memang gelap, tapi ada saja yang mancing di pinggir muara. Yang bikin khawatir masih banyak ular dan binatang liar,” tuturnya lagi.
Dengan perasaan terenyuh dan penuh tanya, bagaimana di tengah mewahnya hotel-hotel wisata di Anyer dan deretan pabrik kimia yang bertetangga dengan Anyer, masih ada saja masyarakat yang belum hidup layak dan menemukan solusi untuk masa depan mereka.
Kami pun beranjak pulang dengan kisah Ifan yang begitu menambah ironi negeri ini. Kisah hidup sebuah keluarga kecil ini menjadi hikmah tersendiri di tengah segala himpitan ekonomi yang makin mencekik serta diperparah dengan adanya pandemi. (*/Abidin)