JAKARTA – Indonesia dirasa tidak lagi ramah agraris. Keinginan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menguatkan pembangunan di sektor pertanian dan kesejahteraan kaum petani masih jauh dari harapan.
Dalam upayanya, Jokowi sempat menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dasar hukum ini mengatur subjek penerima lahan agraria dengan tujuan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Namun, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi masyarakat nirlaba, Jokowi belum berhasil menjalankan janji Reforma Agraria miliknya.
Berdasarkan laporan CNN Indonesia, dilansir detik pada Selasa (24/9/2019), Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan bahwa janji redistribusi lahan seluas 9 juta ha yang tak kunjung diterima oleh petani. Padahal, luasan lahan itu menjadi pokok utama program Reforma Agraria ala Jokowi.
“Pemerintah tetap mempertontonkan kekeliruan reforma agraria dengan membiarkan krisis agraria dialami kaum tani Indonesia dan tidak diatasi dengan serius,” ucap Dewi kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/9).
Bukan hanya itu, berdasarkan keterangan Dewi kepada CNN Indonesia, di sejumlah tempat, banyak lahan petani, wilayah adat, kampung nelayan, tanah garapan buruh tani, hingga masyarakat miskin kaum pertanian yang diambil alih secara paksa dan sepihak. Pengambilalihan dilakukan oleh kalangan pemerintah dan perusahaan yang melegitimasi oleh keputusan pemerintah.
“Pengambilalihan tetap menggunakan cara-cara lama, yaitu melibatkan tentara, dan polisi untuk merepresi dan menggusur tanah masyarakat dengan mengatasnamakan pembangunan proyek strategis nasional,” imbuh Dewi.
“Konflik agraria masih ada, dan cenderung bertambah dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur. Hal ini karena terjadi ganti rugi yang tak sebanding,” Jelasnya lagi.
Tidak berhenti di sana, Dewi tidak melihat adanya peran dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membantu kalangan petani. Malah sikap para anggota dewan yang ‘mewakilkan’ masyarakat ini seakan tidak peduli dengan kaum petani dengan mempermulus jalan sejumlah aturan yang secara jelas bakal merugikan petani.
Salah satunya, terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Menurutnya, RUU itu justru membuat negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan setiap warga negara Indonesia
“Berbulan-bulan kami bersama serikat-serikat petani dan organisasi masyarakat adat telah menyampaikan masukan dan usulan pembatalan rencana pengesahan RUU Pertanahan. Tapi kami tidak didengar,” kata Dewi.
Memperkeruh keadaan, hari ini, Selasa (24/9/2019), DPR malah menyelenggarakan rapat paripurna, termaksud di dalamnya membahas RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dan RUU Karantina.
Menanggapi hal tersebut, massa dari Pemuda Serikat Petani Indonesia menggelar aksi tolak RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan hingga RUU Karantina Hewan di depan gedung DPR pada Selasa (24/9/2019). Menurut mereka, RUU tersebut malah mengebiri petani kecil.
“Selain RUU Pertanahan hari ini teman-teman mahasiswa dan juga teman-teman petani, hari ini juga akan disahkan RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, dimana RUU ini juga mengebiri petani kecil untuk memproduksi benihnya,” kata orator, Angga Hermanda di depan Gedung DPR. (*/Detik)