TANGERANG – Pemerintah Provinsi Banten diminta memanfaatkan peluang beralihnya kewenangan SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi untuk memperbaiki mismatch pasokan dan permintaan tenaga kerja.
Selama ini, meski investasi selalu menunjukkan kenaikan signifikan dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, kenaikan tersebut gagal berkontribusi terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja.
“Pemprov harus segera merancang mekanisme untuk menjembatani mismatch itu. Ini adalah masalah klasik Banten, saya kira Pemprov bisa memanfaatkan peluang ini,” ungkap pengamat ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Dahnil Anzar, Minggu (5/2).
Dirinya merinci seringkali pengusaha kesulitan untuk merekrut tenaga kerja lokal sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan. Alhasil, pemilik perusahaan merekrut tenaga kerja di luar Banten, atau justru tenaga kerja luar negeri.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BKPMPT) Banten, tingkat penyerapan tenaga kerja di provinsi ini cukup fluktuatif dan cenderung menunjukkan tren penurunan selama lima tahun terakhir.
Jika dirinci, jumlah penyerapan tenaga kerja pada 2015 tercatat turun menjadi 100.032 orang dari capaian 2014 sebanyak 119.511 orang. Padahal pada periode yang sama, investasi mengalami kenaikan hingga Rp33,5 triliun, atau tumbuh 34% dibandingkan 2014.
Lebih lanjut, Dahnil menyebutkan persoalan minimnya penyerapan tenaga kerja di tengah kenaikan investasi memang merupakan pekerjaan rumah bagi Banten. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa suplai tenaga kerja, terutama dari lulusan SMK, belum mampu memenuhi kebutuhan industri.
“Jika ini tidak segera diatasi, saya memperkirakan bakal terjadi konflik industrial di Banten. Entah antara tenaga kerja lokal dan nonlokal ataupun dengan tenaga kerja asing. Kebijakan proteksi sangat rendah sehingga masalah ini selalu terjadi tiap tahunnya,” ucapnya. (*)
Sumber: bisnis.com