Raperda RZWP3K Jadi Ironi Warga Pulau Sangiang di Momen HUT RI

Sankyu

SERANG – Kemerdekaan sejatinya memiliki makna sebagai sebuah kebebasan yang absolut, kebebasan yang tidak dikekang oleh siapapun dan apapun. Namun, kondisi itu nampaknya tidak sepenuhnya didapat oleh masyarakat Pulau Sangiang Anyer yang masih merasakan intimidasi-intimidasi dari oknum-oknum pengusaha dan penguasa.

Kendati peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia sudah menginjak usia ke-74, tapi masyarakat Pulau Sangiang masih belum merasakan arti kemerdekaan seutuhnya.

“Permasalahan kriminalisasi yang terjadi beberapa waktu lalu belum hilang dari ingatan. Dan saat ini sudah ditambah lagi dengan masalah yang baru, yaitu permasalahan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang akan segera disahkan oleh DPRD Provinsi Banten,” ucap Sopiyan, selaku tokoh agama masyarakat Pulau Sangiang, Senin (19/8/2019).

Menurutnya, Raperda RZWP3K dinilai hanya akan mempersempit ruang kebebasan bagi masyarakat Pulau Sangiang yang notabene sebagai nelayan untuk mendapatkan dan menikmati hasil alam di wilayah pesisir Pulau Sangiang.

Raperda tersebut juga dinilai hanya akan meguntungkan pihak-pihak perusahaan besar.

“Perda itu memperjelas batasan zonasi yang terbagi dari beberapa zona, yaitu zona tambang, zona wisata dan zona tangkap nelayan. Adanya aturan bukan untuk melindungi warga negara tetapi memberikan akses kemudahan untuk pihak swasta mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya,” ungkapnya.

Sementara itu Tim Advokasi Masyarkat Pulau Sangiang, Mad Haer Effendy alias Aeng dari LBH Rakyat Banten menuturkan, bahwa arti kemerdekaan itu berarti menghilangkan kelas sosial masyarakat, dan menciptakan tatanan masyarakat yang sederajat serta saling memuliakan satu sama tanpa ada kelas tertentu didalam masyarakat.

Sekda ramadhan

“Masing-masing individu maupun kelompok memiliki hak tanpa perbedaan, baik ia warga darat maupun warga pesisir bahkan kepulauan sekalipun yang jangkauannya jauh,” ucap Aeng.

Ia pun mempertanyakan peran Negara yang seolah tidak hadir dan berpihak kepada masyarakat Pulau Sangiang, terkait persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Sangiang yang saat ini merasa terusir dari ruang hidupnya.

“Zona wisata yang ditetapkan di wilayah Pulau Sangiang bisa jadi hanya untuk memperjelas dan memperpanjang penderitaan warga terhadap pihak swasta yang mengklaim wilayahnya (Pulau Sangiang) adalah milik mereka sendiri,” ujarnya.

Zona tambang pun, dikatakan Aeng, hanya akan menimbulkan abrasi dan penurunan volume pantai di Pulau Panjang semakin menyempit.

“Dulu pantai Pulau Sangiang memiliki pantai yang luas, tapi saat ini pantai itu sudah tidak seperti dulu. Ternyata ajibar dari penambangan pasir laut yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir,” ungkapnya.

Belum lagi, menurut Aeng, zonasi tangkap nelayan hanya akan membuat hasil tangkap nelayan semakin sulit. Padahal, potensi ikan diperairan sekitar Pulau Sangiang sangat luar biasa mengingat periaran tersebut merupakan pertemuan antara laut Samudera Hindia dengan laut Indonesia.

“Dampak yang akan ditimbulkan dari Perda RZWP3K ini sangat merugikan jika benar-benar disahkan. Apalagi Perda tersebut tidak pernah melibatkan warga yang terkena dampak dari aturan tersebut. Kepada siapa lagi masyarakat mengadu, jika Pemprov Banten dan DPRD Provinsi Banten mengesahkan aturan tersebut,” tukasnya. (*/Eza, YF)

Honda