Covid-19 Mengetuk Pintu Uluhiyah Umat Manusia

Oleh : Eza Yayang Firdaus

(Wakil Sekertaris Bidang Pembinaan Anggota (PA) HMI Cabang Lebak)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan larangan penyelenggaraan salat berjamaah bagi umat Islam di tengah pandemi corona. Larangan ini tercantum dalam Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 yang keluar pada Senin lalu (16/3).

Fatwa itu menyebut orang yang telah terpapar Covid-19 diharamkan mengikuti salat berjamaah lima waktu, salat tawarih, dan salah Ied di masjid atau tempat umumnya. Orang dengan kategori ini juga haram menghadiri pengajian umum dan tablig akbar.

Hal yang sama juga berlaku bagi kegiatan ibadah berjamaah yang melibatkan banyak orang, seperti yang biasa dilakukan setiap hari Jumat. Orang yang terpapar virus corona dapat melakukan salat zuhur di rumah sebagai penggantinya.

Tak hanya berlaku bagi yang terinfeksi virus corona, fatwa tersebut juga menyasar pada jemaat dengan kondisi sehat dan belum diketahui terpapar Covid-19 tapi berada di kawasan dengan tingkat penularan tinggi. Mereka diperbolehkan melakukan semua salat itu di rumah.

Upaya MUI ini tak ubahnya untuk menekan penyebaran virus corona dengan mengatur ibadah umat muslim ternyata memperoleh banyak dukungan juga dari berbagai pihak. Salah satu yang mengungkapkan persetujuannya adalah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Yang jadi pertanyaan adalah sejauh mana bahaya antara covid-19 dengan HIV (human immunodeficiency virus) AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS yang mana adalah stadium akhir dari infeksi virus HIV ?

Dikutip dalam jurnal The Lancet HIV bahwa Seorang pria asal London telah menjadi orang kedua di dunia yang sembuh dari HIV, kata para dokter.

Adam Castillejo dinyatakan telah bebas HIV selama 30 bulan tanpa perlu obat antivirus, menurut laporan baru yang diterbitkan Selasa (10/03/2020) 

Itu artinya virus corona yang kita kenal pandemi baru atau yang dikenal dengan Covid-19 dinilai tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan HIV-AIDS. Namun virus ini akan menjadi sangat berbahaya jika pemerintah Indonesia terus menutupi informasi mengenai sebaran virus dari Wuhan, China itu di Indonesia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri merilis bahwa virus corona sudah terdeteksi di 59 negera dengan 86.927 orang terjangkit pada Minggu (1/3) pagi. Di mana sudah ada 2.976 orang meninggal dunia.

Namun begitu ada juga puluhan ribu orang telah berhasil disembuhkan. Artinya, Covid-19 bukan virus yang sangar seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang penderitanya masih gagal disembuhkan.

Artinya, setiap orang yang sudah memiliki gejala corona sebenarnya bisa langsung ditangani dan berpotensi sembuhnya amat sangat besar, sebagaimana puluhan ribu orang yang berhasil disembuhkan tersebut.

Yang tidak boleh dilakukan dalam masjid:
1.Perdagangan 

Secara tegas, Rasulullah menyampaikan sebuah pernyataan: “Bila kamu melihat orang bertransaksi di dalam masjid, doakanlah mudah-mudahan Allah SWT tak menguntungkan perdaganganmu.” Ini terangkum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasai dan Tirmidzi. Rasulullah melarang Muslim berjual beli di dalam masjid.

Aam Amiruddin dalam bukunya, Bedah Masalah Kontemporer, mengatakan, bila di luar masjid, misalnya di halaman masjid, kegiatan itu tidaklah dilarang. Ia menambahkan, merujuk pada keterangan dalam hadis, ada dua hal yang tak diizinkan dilangsungkan di dalam masjid.

2.Pengumuman Kehilangan
Selain melarang berdagang di dalam masjid, Rasulullah juga tak memperbolehkan mengumumkan kehilangan.
Misalnya, seorang pengurus masjid menyampaikan pengumuman di depan jamaah, siapakah yang menemukan jam tangan merek Y.

Tetapi kalau mengumumkan penemuan barang yang hilang, itu tak mengapa. Seperti merespons transaksi perdagangan di dalam masjid, Rasulullah juga melakukannya terhadap pengumuman kehilangan.

Menurut beliau, siapa yang mendengar di masjid mengumumkan barangnya yang hilang, doakanlah semoga Allah tak mengembalikan barang-barang yang hilang itu. Sebab, masjid tak didirikan untuk itu.

3.Bersyair
Abdullah bin Umar yang di kutip Sayyid Sabiq lewat bukunya, Fikih Sunnah, mengisahkan cerita lainnya. Dia mengungkapkan, Rasul melarang jual beli, mencari barang hilang, dan bersyair. Sabiq mengatakan, maksud dari larangan melantunkan syair adalah apabila berisi ejekan terhadap Muslim, pujian bagi orang zalim, serta perkataan kotor. Sebaliknya, syair yang mengandung hikmah, pujian terhadap Islam, dan anjuran berbuat baik, silakan saja.

Sedangkan Abu Hurairah menuturkan tentang pengalamannya. Umar, jelas dia, menghampiri Hassan yang sedang bersyair di dalam masjid. Umar memperhatikannya. Hassan pun berkata, dulu ia pernah bersyair di tempat itu, maksudnya masjid, dan dihadiri oleh orang yang lebih baik dari Umar, yaitu Rasulullah.

4.Meminta-Minta
Seorang cendekiawan Muslim Ibnu Taimiyah menambahkan satu hal lagi yang tak dibolehkan di masjid, yaitu meminta-minta. Pada dasarnya, jelas dia, memintaminta di dalam masjid atau di tempat yang lain dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa dan mengganggu orang lain, seperti melangkahi bahu orang yang sedang duduk, tidak berdusta atas apa yang disampaikan, dan tak mengeraskan suara hingga orang lain terganggu.

Maka dengan segala kerendahan hati kami memberikan pandangan kepada seluruh umat muslim harus terus berpegang teguh pada hakikat memakmurkan masjid.

Makna memakmurkan masjid adalah menetapinya untuk melaksanakan ibadah di dalamnya meski ditengah merebaknya pandemi covid-19, karena merebaknya wabah virus corona alias covid-19 di hampir seluruh belahan dunia saat ini, telah mengubah wajah dunia dengan wajah ketakutan.

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyu’ mengingat Allah SWT dan mematuhi kebenaran yang diwahyukan Allah (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak diantara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS Al-Hadid: 16).

Tidak ada kata lain tanpa mengenyampingkan kesehatan individu maupun kelompok muslim kita harus mengedepankan dalam rangka mencari keridhaan-Nya, misalnya shalat, berdzikir kepada Allah Ta’ala dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk maknanya adalah membangun masjid, menjaga dan memeliharanya.

Maka hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.

Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.

Imam Ibnu Katsir menukil dengan sanad beliau ucapan shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu membaca ayat tersebut di atas. Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/449).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allah hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allah dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala). Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/216).

Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin mereka mendirikan dan menghiasi masjid dengan sangat berlebih-lebihan, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar. Bukan dengan tujuan memperluas masjid sehingga dapat menampung jumlah kaum muslimin yang banyak ketika menunaikan sholat berjamaah, tetapi hanya untuk menghiasi dan meninggikan bangunan fisiknya.

Karena islam hadir dengan meletakkan tauhid sebagai dasar dalam pembinaan umat, karena menyadari bahwa tauhid adalah esensi ajaran Islam yang mempunyai kekuatan dalam menangkal setiap pengaruh yang dapat merusak aqidah seseorang. Ajaran tauhid melalui kalimat “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asuhadu anna Muhammadar Rasulullah”, bukan saja menjadi pintu gerbang Islam melainkan menjadi prinsip dalam kita menerima setiap ajaran Islam.

Tauhid Uluhiyyah adalah meng-Esakan Tuhan sesuahi dengan sifat ke-Tuhanan-Nya, yang terkait dengan sifat-sifatnya. Tahuid uluhiyyah, tidak berbicara tentang ciptaan-Nya dan hal terkait yang terbatas, akan tetapi merupakan konsep meng-Esakan Tuhan sebagai Tuhan. (***)

Honda