Refleksi Pandemi: Potret Moderasi Nabi dalam Beribadah

Dprd ied

Oleh : Salim Rosyadi
(Bendahara DPW Al-khairiyah Propinsi Banten)

Indonesia masih berduka, hampir dua bulan berlalu, musibah COVID-19 di tanah air ini kian mewabah, hari demi hari korban kian berjatuhan, seolah memastikan maut tak memilih status dan menyandang kedudukan. Virus mematikan ini sulit diprediksi kapan ia berakhir. Sejumlah ilmuan coba menerka-nerka baik berdasarkan sains maupun agama, Corona kapan berlalu.

Pemerintah berupaya sekuat tenaga demi memutus rantai COVID-19 yang menjadi Pandemi, segala peraturan pun kerap digalakkan, dimulai dari social distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sampai pekerjaan pun dilakukan Work From Home (WFH). Tidak hanya itu, segala bentuk kegiatan yang mengundang kerumunan masa baik kegiatan bersifat sosial, maupun keagamaan harus dihentikan, tak terkecuali himbauan MUI dan Kementerian Agama yang mengharuskan Ibadah di rumah saja.

Namun, anomali pun terjadi, sebagian orang memaksa mengabaikan himbauan pemerintah dan MUI dengan berbagai alasan, termasuk ketika himbauan ibadah tidak dilakukan di Masjid dianggapnya tidak islami. Bahkan sangat disesalkan, dari sorotan media, ada Jamaah justru memaki-maki ustadznya.

Apalagi di tengah Ramadhan, kebiasaan umat muslim berbondong-bondong menuju Masjid untuk melaksanakan tarawih berjama’ah, tadarus dan i’tikaf dalam keadaan seperti ini terpaksa harus dirumahkan. Namun demikian, apakah hal itu dapat menghilangkan pahala?

Menengok Moderasi Nabi

Bagi umat islam, sejatinya tempat bukan menjadi ukuran, apalagi merusak kekhusyukan, karena ia hanya bersifat komplementer saja. Prinsipnya, yang menjadi tujuan utama ibadah adalah meneguhkan hati dihadapan Allah serta membawa akibat kebaikan dengan dilandasi menjaga syarat dan rukunnya.

dprd tangsel

Ajaran islam sangatlah moderat, ia memiliki banyak jalan dan alternatif, termasuk dalam hal ini, ritual ibadah tidak mesti dilakukan di satu tempat. Shalat umpamanya, jika tidak memungkinkan ia tidak mesti dilakukan di Masjid. Shalat dapat dilakukan diberbagai tempat seperti di Kantor, Rumah, Hotel, tempat terbuka atau bahkan dikendaraan.

Bukankah Nabi perah mengajarkan? Dalam satu keterangan Hadits, Nabi pernah shalat di kendaraan, ia pun Bersama sahabatnya pernah melakukan shalat di medan peperangan dan tempat terbuka. Termasuk dalam Qiamullail (Shalat Malam) Nabi sering kali melaksanakannya di rumah. Bahkan Nabi berkata, “Semua wilayah bumi dijadikan masjid dan suci bagiku.” Jelaslah, ini menunjukkan bahwa ritual ibadah tidak hanya menunjuk pada satu tempat.

Imam Bukhari pernah meriwayatkan, selama Ramadhan Nabi membiasakan diri shalat sunnah di Masjid. Namun kian hari para sahabat semakin bertambah mengkuti yang Nabi kerjakan, sehingga hal ini menghkawatirkannya suatu saat akan menjadi kewajiban. Akhirnya Nabi memilih ibadah sunnah tersebut dilakukan di rumahnya. Namun, sampai wafatnya Rasul, para sahabat masih melakukan ibadah Sunnah tersebut, sehingga masa kekhalifahan ‘Umar, ia berinisiatif menjadikannya shalat itu berjamaah. Inilah awal mula shalat yang biasa kita lakukan selama Ramadhan penuh, yaitu Tarawih.

Keadaan shalat pun demikian, jika tidak mampu berdiri, Nabi membolehkannya duduk, dan jika tidak mampu duduk, masih bisa dilakukan dengan berbaring. Bahkan, jika sudah tidak mampu berbaring, shalat bisa dilakukan dengan isyarat. Begitupun dengan ritual lainnya.

Artinya, di sini Nabi hendak mengajarkan kita, selalu ada alternatif dalam melaksanakan ibadah, syariat tidaklah kaku yang menjadi belenggu atas umatnya, namun kitalah yang membuat belenggu atas syariat, sehingga ia teramat kaku dan berat dilaksanakan. Jika Nabi sendiri moderat, mengapa malah sebagian ummatnya yang membuat berat.
Menghindari Kemadharatan Lebih Utama
Himbauan shalat di rumah bukan dimaknai kita tidak shalat. Sebagian masyarakat kita sering kali gagal paham dalam memahami himbauan shalat berjamaah tidak dilakukan di Masjid. Padahal, dalam himbauan tersebut bukan berarti melarang shalatnya, karena shalat tidak boleh dilarang. Melainkan yang dilarang adalah berkerumunnya masa, karena ketika melaksanakan shalat berjamaah di Masjid artinya ia mengundang banyak orang sehingga dikhawatirkan ikut tertularnya virus. Padahal, ia tidak tahu siapa diantara jamaah tersebut yang tertular atau tidaknya. Sehingga dalam hal ini, menghidari kemadharatan lebih diutamakan dari pada mengundang kemadharatan itu sendiri.

Tidaklah kita dengan shalat di rumah lantas menghilangkan pahala, bahkan disituasi seperti ini kita mendapatkan dua pahala, yaitu pahala beribadah dan pahala berbuat kebaikan karena menjaga tidak ikut menularkan penyakit. Selain itu, bercerminlah kepada sikap moderasi Nabi yang membuat syariat ini terasa ringan dan tidak menjadi beban.

Himbauan pemerintah dalam penanganan COVID-19 tentu tak layak kita abaikan, karena bagaimanapun mereka sedang berjuang demi kemaslahatan Bersama. Bukankah Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatiah Rasul, dan kepada para pemimpin di antara kamu.” (Qs An-Nisa [4]:59). Dengan demikian, sebagian ketaatan kita kepada pemerintah, sama halnya menunjukkan ketaatan kita taat kepada Allah dan RasulNya. (***)

Golkat ied