Matahari Sedang Lockdown, Waspada Banyak Bencana di Bumi

JAKARTA – Beberapa fenomena alam atau bencana telah dikaitkan dengan aktivitas di permukaan Matahari yang turun naik. Saat ini, ilmuwan menyebut pusat Tata Surya itu sedang berada pada masa lockdown.

Artinya, Matahari tengah memasuki periode minimumnya. Saat itu terjadi, sun spot atau bintik Matahari menghilang sehingga berdampak pada penurunan sinar yang amat drastis. Matahari disebut telah kehilangan 76 persen sun spot pada 2020.
Resesi sinar Matahari yang terjadi saat ini tercatat sebagai yang terburuk dalam satu abad terakhir. Hal tersebut diungkapkan astronom Dr. Tony Philips, demikian laporan The Sun.

Akibatnya lanjut dia, “medan magnet Matahari menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke Tata Surya.” Kelebihan sinar kosmik, menurut Philips, akan menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronaut yang tengah menjalani misi luar angkasa.

Tak cuma itu, surplusnya sinar kosmik bakal mempengaruhi elektro-kimia pada atmosfer Bumi sehingga dapat memicu petir.

Jika kita kembali ke masa lampau antara tahun 1790 dan 1830 di saat Matahari juga berada pada masa lockdown-nya, kita akan menjumpai apa yang disebut dengan Dalton Minimum.

Kondisi tersebut digambarkan dengan penurunan suhu yang sangat drastis sehingga Bumi menjadi sangat dingin, terjadi kegagalan panen, bencana kelaparan, dan letusan gunung berapi berkekuatan dahsyat.
Kala itu, suhu merosot hingga 2 derajat Celsius selama 20 tahun dan berdampak pada minimnya produksi pangan dunia sehingga menimbulkan bencana kelaparan. Melihat aktivitas Matahari saat ini lantas membuat ilmuwan NASA diliputi kekhawatiran manusia akan mengalami hal serupa.

Kartini dprd serang

Letusan Gunung Tambora sebagai efek Dalton Minimum

Gunung Tambora di Indonesia yang meletus pada 10 April 1815 juga dianggap sebagai efek dari Dalton Minimum. Akibat bencana itu, di sepanjang tahun 1816, wilayah Eropa tak merasakan musim panas sama sekali sehingga disebut juga sebagai ‘tahun tanpa musim panas’.

Cuaca dingin hampir mustahil dialami tanpa adanya erupsi. Sementara untuk musim yang basah kemungkinannya juga sangat kecil terjadi sepanjang tahun tanpa adanya letusan gunung api besar.

Memasuki waktu yang seharusnya menjadi musim panas kala itu, bencana kelaparan menimpa wilayah Eropa Tengah dan Barat akibat kegagalan panen. Aktivitas pertanian menjadi terganggu karena suhu global yang tercatat di kedua wilayah sangat rendah.

“Letusan Gunung Tambora pada April 1815 merupakan salah satu yang paling eksplosif selama beberapa abad terakhir. Dampaknya sangat besar secara lokal, karena berhasil menghancurkan Pulau Sumbawa. Letusan tersebut bahkan menyumbangkan sulfur dioksida (S02) ke dalam stratosfer Bumi dalam jumlah besar dan menyebar ke seluruh dunia dengan cepat, kemudian teroksidasi sehingga membentuk aerosol sulfat,” papar Andrew Schurer, periset utama dalam studi yang hasilnya telah diterbitkan di jurnal Environmental Research Letter, pada 18 September 2019.

“Aerosol vulkanik ini selanjutnya akan mengurangi radiasi netto yang memberikan efek pendinginan di permukaan Bumi secara luas dan bisa bertahan cukup lama. Kondisi tersebut juga menyebabkan curah hujan secara global mengalami penurunan, namun di saat yang bersamaan juga membasahi beberapa daerah yang kering serta menyebabkan perubahan dinamis pada sirkulasi di lautan dan atmosfer dalam skala yang besar,” imbuhnya. (*/Kumparan)

Polda