Selamat Hari Lahir Pancasila (Kamu)

Oleh: Ahmad Basori *

FAKTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan setiap tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, melalui Keppres No 24 Tahun 2016. Keputusan ini berindikasi mengarahkan Pancasila untuk ditafsirkan tunggal oleh penguasa saat ini.

Penafsiran itu memang diarahkan sesuai dengan pemikiran Soekarno yang disampaikan pada sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan “dasar-dasar” philosofiche grondlag, weltanscchauung, dasar filsafat negara bagi Indonesia merdeka.

Rumusan pemikiran Pancasila ala Soekarno yaitu : kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan.

Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sebenarnya sangat berbeda dengan Pancasila saat ini. Sila-sila yang termaktub itu menurut Soekarno dijiwai oleh gotong-royong dan menempatkan sila ke-Tuhanan pada urutan terakhir. Sedangkan Pancasila yang ada sekarang itu dijiwai oleh sila ke-Tuhan-an dan ditempatkan di urutan pertama.

Pancasila yang ada dan diakui oleh rakyat Indonesia saat ini, sebenarnya mengambil dari rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Hanya berbeda pada sila yang pertama saja, tujuh kata dalam piagam Jakarta ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ sudah diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa.

Pancasila ala Piagam Jakarta itu sangat Islami. Tidak mungkin lahir dari seorang yang berfikir sekuler.

Terlihat dari pemilihan diksinya yaitu adab, adil, musyawarah, hikmah, wakil, Terlebih dalam pembukaan UUD 45 tercantum ‘Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…’.

Kalau Pancasila yang diklaim oleh kelompok penguasa saat ini, adalah buatannya Soekarno maka pilihan diksinya yaitu internasionalisme, demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, bahkan gotong-royong.

Dugaan kuat, empat tokoh wakil dari kelompok Islam itu mendominasi dalam perumusan Pancasila di Sidang BPUPKI. Empat orang dari kelompok Islamis itu memiliki kapasitas keilmuan agama yang mumpuni. Sebut saja Abikoesno, adik dari Cokroaminoto yang memiliki basis Islam Ideologis yang kuat.

Tiga yang lainnya, Wahid Hasyim, Agus Salim, dan Kahar Muzakkir, adalah tiga ulama yang belajar di Indonesia, Mesir dan Makkah.

Tradisi keilmuan para ulama memang dipengaruhi oleh tradisi penguasaan wajib seorang ulama untuk menguasai ilmu bahasa (sastra) Arab.

Kemampuan inilah yang digunakan oleh para penyebar awal agama Islam mereka melakukan Islamisasi bahasa Melayu/Indonesia di Nusantara. Tercatat sekitar 2000-3000 bahasa Melayu/Indonesia menyerap Bahasa Arab.

Lalu apa pentingnya Islamisasi Bahasa? Islamisasi bahasa memiliki dampak yang besar bagi kehidupan bermasyarakat. Bahasa itu bukan hanya simbol untuk seseorang berbicara. Lebih dari itu bahasa itu adalah juga simbol cara berfikir seseorang.

Masyarakat sebelum Islam, menamakan seseorang itu dengan cara menisbatkan dengan nama-nama binatang seperti walang keke, walang sungsang, gajah mada. Tetapi Islam datang mereka berganti nama menjadi Abdullah, Abdurrahman, Syarif Hidayatullah.

Maka dari sini sangat jelas perubahan itu bukan hanya sekedar nama dari Walang Keke ke Abdurrahman. Tetapi juga perubahan pola berfikir, dari pengagungan sesorang kepada Alam (binatang), berubah menjadi pengagungannya kepada Allah SWT.

Para ulama yang terlibat dalam perumusan Pancasila juga melakukan pola yang sama yaitu kalimat-kalimat yang tersusun di dalamnya banyak menyerap bahasa Arab.

Konsekuensinya kata-kata itu sebenarnya tidak memiliki padanan kata yang sama dari bahasa manapun.

Sebut saja kata adab, hikmah, musyawarah, adil, hanya Al-Quran saja yang mampu menjelaskankannya.

Karena kata adil itu tidak bisa kita samakan dengan arti sama rata, adab tidak sama dengan sopan santun, hikmah tidak sama dengan suara terbanyak, bahkan musyawarah pun tidak sama dengan pemungutan suara.

Maka sekali lagi, kalimat-kalimat Pancasila yang termaktub dalam Teks Pembukaan UUD 45 tidak mungkin tercipta dari seseorang yang tidak memiliki kapasitas sebagai ulama. Apalagi yang memiliki pemikiran sekuler, liberal, sosialis, bahkan komunis.

Tafsir Tunggal

Upaya menafsirkan tunggal Pancasila melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi seperti penetapan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, RUU Haluan Ideologi Bangsa dan pembentuan lembaga BPIP, adalah langkah setback ke belakang dimana Pancasila hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja.
Dan ini berpotensi besar terjadi penolakan kelompok lain terhadap Pancasila.

Sebagai karya bersama milik bangsa, seyogyanya Pancasila itu tidak ditafsirkan tunggal hanya versi penguasa yang berasal dari kelompok tertentu.

Memang Soekarno memiliki peran penting dalam perumusan Pancasila. Tetapi pemikirannya itu hanya baru usulan seperti tokoh-tokoh lainnya, Yamin dan Soepomo. Mereka juga tokoh-tokoh yang sama menyampaikan usulan rumusan Pancasila.

Seharusnya yang menjadi rujukan dalam penetapan Hari Lahir Pancasila yaitu Pancasila hasil sidang BPUPK yang menghasilkan Piagam Jakarta. Atau hasil kesepakatan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Dan kalau mau netral, seharusnya Pancasila 18 Agustus 1945 lah yang dijadikan Hari Lahir Pancasila bukan Pancasila 1 Juni 1945.

“Selamat Hari Pancasila (Kamu), Bukan Kita”. (***)

*) Penulis adalah Pengajar dan juga Aktivis Islam asal Kota Tangerang, Banten.

Honda