Berdamai dengan PLTU Batu Bara

Oleh : Ahmad Amiruddin

Omong kosong PLTU bersih. Persis di depan saya berdiri seorang perempuan dengan goody bag bertuliskan itu. Baling-baling pesawat baru saja berhenti berputar. Kami sedang turun dari tangga pesawat di sebuah bandara di Kalimantan. Pulau dengan banyak tambang batu bara. Udara terasa panas, tapi untungnya angin berembus cukup kencang. Sementara proklamasi di tas tersebut berputar-putar di kepala saya.

Tak ada yang salah dengan tulisan tersebut. Tak ada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang benar-benar bersih 100%. Tapi kenapa kita masih menggunakannya? Jawabannya persis sama dengan kalau kita bertanya kepada perempuan tadi, “Kenapa masih pakai pesawat?” Bukankah transportasi udara adalah salah satu penyumbang polusi paling signifikan di dunia? Bahkan, pesawat adalah kendaraan umum dengan emisi terbesar per kilometernya (EEA, 2019).

Saya berandai-andai, perempuan tersebut akan menjawab, “Saat ini, naik pesawat adalah pilihan yang paling realistis.” Setidaknya untuk saat ini. Tak mungkin dia naik perahu layar dari Jakarta ke Kalimantan. Butuh waktu berhari-hari, itu pun belum tentu sampai.

Greta Thunberg, remaja paling vokal di dunia untuk isu lingkungan, menggunakan perahu layar untuk menyeberang dari Plymouth, Inggris ke New York, Amerika Serikat. Perjalanannya menyeberangi Samudera Atlantik dalam waktu empat belas hari. Perahu layarnya tak pakai mesin, hanya mengandalkan angin. Tak ada pembakaran, sehingga juga tak ada karbondioksida yang keluar.

Tapi tak semua orang memiliki privilese seperti itu. Bahkan hanya sangat sedikit yang mampu membiayai perjalanan tanpa karbon tersebut. Greta termasuk remaja yang beruntung.

Secara umum, dunia transportasi laut digerakkan oleh kapal berbahan bakar minyak. Bahkan sebenarnya Green Peace, sebuah organisasi perlindungan lingkungan yang paling solid, mengandalkan kapal berbahan bakar fosil untuk kapal-kapalnya di garis depan. Sebut saja misalnya MV Esperanza yang merupakan bekas kapal perang Soviet yang sudah pasti menggunakan BBM.

Kenapa mereka masih menggunakannya? Jawabannya sama, “Tak ada pilihan lain.” Sebenarnya ada pilihan yang bebas emisi, cepat, dan bisa mengangkut banyak, tapi sangat mahal karena bahan bakarnya adalah nuklir. Angkatan Laut Amerika menggunakannya untuk kapal-kapal perangnya. Tapi tidak mungkin kita akan berlayar dari Tanjung Priok ke Makassar, misalnya, dengan Kapal Perang Amerika.

Tiga Masalah

Sumber energi ada banyak macamnya, baik yang berasal dari energi fosil (batu bara, minyak, dan gas), maupun energi baru dan terbarukan (nuklir, panas bumi, air, surya, angin, arus laut). Namun apapun jenis energinya, pada dasarnya terjebak pada tiga masalah yang saling mengait dan kadang saling jegal dan mengorbankan satu sama lain. Masalah tersebut disebut oleh World Energy Council sebagai Energy Trilemma.

Problem dalam Energy Trilemma; pertama, energi haruslah dapat diakses semua rakyat serta murah sehingga terjangkau masyarakat luas dan juga tetap menguntungkan bagi pengusaha supaya ada keberlanjutan usaha, atau sering disebut energy equity. Kedua, energi harus ada terus-menerus, berkualitas, dan dapat diandalkan, diistilahkan energy security. Ketiga, dan ini tak kalah pentingnya, energi harus ramah lingkungan (environmental sustainability).

Intinya, energi harus murah, andal, dan ramah lingkungan. Tapi tak ada satu pun jenis sumber energi yang mampu menyelesaikan ketiga masalah tersebut sekaligus. Ada sumber energi yang murah dan andal, tapi tak ramah lingkungan. Sebaliknya, ada sumber energi yang ramah lingkungan, tapi sifatnya tak selalu bisa ditebak sehingga susah diandalkan dan juga relatif mahal.

Batu bara adalah sumber energi yang relatif ekonomis, tersedia di banyak tempat di Indonesia sehingga tidak harus mengimpor, serta sangat bisa diandalkan dalam memproduksi listrik. Itulah sebabnya PLTU batu bara dijalankan sebagai penopang beban dasar, karena sifatnya yang tidak banyak tingkah dan harga yang murah.

Batu bara bisa memenuhi kepentingan energi yang murah dan reliable. Kekurangan dari PLTU batu bara adalah dampak lingkungannya serta manuvernya yang terbatas saat operasi. Dalam operasi listrik, PLTU batu bara akan dibantu oleh Pembangkit berbahan bakar gas (PLTG) saat beban-beban puncak. Sifat PLTG lebih fleksibel, lebih lincah, dan emisi relatif lebih rendah, namun dua kali lipat lebih mahal biayanya dibanding harga listrik yang diproduksi PLTU.

Indonesia masih bergantung kepada batu bara. Sebuah kenyataan yang tak bisa dibantah. Sebesar 60% energi listrik yang kita gunakan asalnya dari batu bara, sisanya adalah gas sebanyak 23%, bahan bakar minyak 4%, dan hanya 12% dari Energi Baru Terbarukan (RUKN 2019-2038). Meski demikian, secara berangsur-angsur porsi batu bara ditargetkan menurun, sehingga pada 2038 maksimal 47%, di sisi lain Energi Baru Terbarukan paling sedikit telah mencapai 28%.

Mungkin tidak kita sadari, di balik status-status Facebook kita, di belakang tema-tema besar Internet of Thing, revolusi industri 4.0, semuanya tak akan jadi kenyataan kalau listriknya tak ada. Dan listrik yang menerangi rumah kita, mengecas HP yang dipakai menulis status anti-PLTU, atau menyalakan BTS yang mengirim sinyal itu, sebagian besar berasal dari batu bara yang dibakar. Mulai dari PLTU di Halmahera hingga PLTU Nagan Raya di Aceh.

Sebenarnya ada pembangkit yang sangat ramah lingkungan. Emisinya nol, sumber energinya dari alam, nyaris ada setiap saat, dan tak perlu digali. Mereka adalah air, angin, dan tenaga matahari.

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sangat andal, sangat fleksibel, dan harganya hanya sedikit di atas PLTU batu bara. Tapi sumber air tidak tersedia di semua tempat. Air yang bisa digunakan untuk pembangkit hanya pada tempat yang tinggi dan yang punya debit air yang mencukupi.

Sementara angin tidak kencang-kencang amat di daerah khatulistiwa. Tak banyak tempat di Indonesia yang potensi anginnya bagus seperti di Sulawesi Selatan, NTT, Kalimantan Selatan, dan di Sukabumi. Selain itu angin juga sifatnya angin-anginan. Kadang berembus kadang juga berhenti sama sekali.

Karena sifatnya yang berubah-ubah, prediksi yang tidak akurat dapat menyebabkan sistem kelistrikan bergoyang. Meski demikian, bukan tak berarti tak ada usaha juga. Di Indonesia telah ada dua pembangkit listrik tenaga bayu berkapasitas besar, yaitu di Sidrap (75 MW) dan Jeneponto (72 MW), keduanya di Sulawesi Selatan.

Adapun tenaga matahari sangat berlimpah di Tanah Air. Sepanjang tahun matahari bersinar. Meski kalau malam tak bisa berproduksi, kecuali energinya ditabung. Masa depan energi bersih kita ada di sini. Tapi itu di masa depan. Padahal kita butuhnya sekarang. Saat ini harganya masih mahal, meski trennya masih terus menerus menurun. Harganya belum bisa bersaing dengan PLTU batu bara.

Selain itu, energi surya juga masih belum bisa diandalkan untuk berpartisipasi menjaga stabilitas sistem kelistrikan. Variabilitasnya tinggi sehingga memerlukan pembangkit pendamping atau baterai untuk menjaga ketika awan tiba-tiba lewat dan mataharinya sedang sembunyi. Untuk pembangkit pendamping ini tentu dibutuhkan juga investasi.

Tenaga surya sangat ramah lingkungan, tapi tak andal dan juga masih relatif mahal. Namun demikian telah ada beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas besar di Indonesia, di antaranya adalah PLTS Likupang 21 MW di Sulawesi Utara dan yang sedang tahap pembangunan adalah PLTS Cirata 145 MW.

Sebenarnya bisa saja pemerintah menetapkan disinsentif untuk PLTU batu bara dengan membebani pajak atau kewajiban untuk membeli sertifikat hijau seperti yang sudah dilakukan di negara-negara Eropa. Tapi dampaknya akan kembali kepada masyarakat, yaitu harus ada pihak yang membayar kenaikan tersebut. Pembangkit tersebut pasti akan meneruskan biaya produksinya kepada konsumennya. Artinya, kalau bukan masyarakat yang membayar langsung, maka negara yang membayar subsidinya.

Harus Berdamai

Saat ini dan beberapa tahun lagi kita harus berdamai dengan PLTU batu bara. Kita memerlukan listrik yang murah dan bisa diandalkan untuk mendorong produktivitas industri dan juga masyarakat. Persoalan lingkungan tak berarti harus dikesampingkan. Pelan-pelan porsi batu bara akan dikurangi sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional.

Untuk memitigasi dampak lingkungannya, pengelola PLTU batu bara punya kewajiban untuk menjaga baku mutu emisi yang dikeluarkannya sesuai dengan yang telah diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Akan ada hukuman pidananya bagi yang melanggar dan telah ada yang dipidanakan.

Saat ini, teknologi PLTU bersih juga semakin berkembang dengan penggunaan teknologi Ultra Super Critical yang lebih efisien dan juga gasifikasi batubara. Di lain pihak telah ada langkah-langkah awal untuk mensubstitusi batu bara dengan bahan bakar nabati berupa biomassa.

Sambil bersabar-sabar dan terus mengawasi PLTU agar menjaga mutu lingkungan maupun pertambangan batu baranya, kita bisa mendorong agar energi matahari makin banyak diminati dan digunakan di Indonesia. Pelan-pelan dengan semakin banyaknya pilihan, maka kita tak akan terjebak lagi dengan jawaban, “Tak ada pilihan lain.”

Ahmad Amiruddin, M.Sc bekerja di bidang energi, alumni MSc in Sustainable Energy Systems The University of Edinburgh

Honda