Inspiratif, Ini Perjuangan Tour Leader Ujung Kulon Adventure

PANDEGLANG – Spekulasi, itulah kata yang pas untuk menggambarkan sosok Deden Andriyana (29), warga Kampung Haseum, Desa Cigorondong, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang. Bagaimana tidak, ia memilih fokus jadi tour leader sehingga harus rela melepas pekerjaannya di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten pada 2016 lalu.

Gaji kecil sebagai tenaga honor di instansi pemerintahan menjadi alasan dirinya menggeluti sektor pariwisata yang memang berada di sekitar kediamannya. Dan pepatah “sebuah proses tidak akan mengkhianati hasil”, nampaknya mampu ia buktikan. Bagaimana tidak, dari yang hanya bergaji sekitar Rp 1 jutaan saat berseragam PDH (pakaian dinas harian), kini omzetnya pun berhasil mencapai puluhan juta perbulan.

Saat ditemui disela-sela aktifitasnya menjadi tour leader di Taman Nasional Ujung Kulon, Deden pun bercerita tentang perjalanan merintis usahanya hingga harus berkonflik dengan pihak keluarga lantaran keputusannya berhenti kerja.

“Awalnya sih ikut-ikutan, ikut sama Kakak ke Ujung Kulon sekitar 2015, 2016. Terus diminta nemenin peserta trip travel Jakarta. Dari situ mikir, orang Jakarta aja bisa masa sebagai asli daerah sini tidak bisa bawa orang ke Ujung Kulon,” ucap Deden membuka cerita, Minggu (6/9/2020) di Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon.

Keinginan untuk mendapatkan peserta trip sendiri, mendorong dirinya untuk giat promosi melalui jejaring media sosial. Sampai di tahun 2016 awal, akun instagram @ujungkulon_adventure dibuatnya. Namun siapa sangka, berkat kesabarannya justru itu menjadi awal modal besarnya meraup pundi-pundi jutaan rupiah.

Meski diawal merintis, enam bulan Deden melakukan promosi melalui jejaring media sosial, namun tak satu pun peserta yang didapat. Sempat ingin menyerah, Deden pun terus giat promosi. Hingga akhirnya berhasil mendapatkan peserta trip pertamanya setelah hampir satu tahun lamanya ia melakukan promosi di media sosial.

“Satu tahunan, baru tuh bisa bawa wisatawan sendiri. Itu sekitar 17 orang di akhir tahun 2016,” ujarnya.

Sebagai orang yang lahir dan besar di sekitar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Deden mengaku jika dirinya tidak pernah berpikiran jika potensi wisata yang ada di daerahnya bisa menjadi peluang usaha baru sekaligus meningkatkan perekonomian untuk dirinya.

Tapi, peserta trip pertama yang dibawanya sebanyak 17 orang justru membuka pikirannya bahwa ada peluang usaha baru yang menjanjikan bagi orang-orang daerah seperti dirinya.

“Dan waktu itu dapat pemasukan Rp 1juta, dan itu seneng banget. Dari situ kepikiran untuk fokus di sektor wisata,” ungkapnya.

Keputusannya untuk lebih serius di sektor wisata sebagai tour operator mendoronya untuk berhenti bekerja sebagai tenaga honor di instansi pemerintahan. Sehingga hal itu membuat pihak keluarga pun berang dengan keputusan yang diambil.

Maklum saja, jenjang karir yang belum jelas sebagai tour operator, serta pola pikir masyarakat didaerah soal bekerja di instansi pemerintah adalah kebanggaan dan jaminan hidup meski hanya sebatas tenaga honor menjadi alasan pihak keluarga marah besar.

“Karena ingin fokus, saya pun memilih berhenti dari dinas. Wah itu marah besar keluarga, abis diomel-omelin. Maklum kan orang tua pengen anaknya jadi PNS gitu. Tapi saya sih yakin kalau ini bisa jadi jalan. Saya berusaha meyakinkan keluarga, tapi tadi itu, harus ada bukti konkret biar mereka percaya,” terangnya.

Bulan berganti tahun dilalui Deden pasca berhenti bekerja di instansi pemerintah, dan puluhan rombongan peserta trip ke Taman Nasional Ujung Kulon pun justru silih berganti menjadi peserta travel miliknya. Hal itu pun perlahan membuat pria yang kini sudah memiliki dua anak itu pun kembali mendapat kepercayaan dan pengakuan dari pihak keluarga.

Bahkan, keluarga yang sedari awal menentang, justru kini berbalik mendukung dengan apa yang menjadi keputusannya. Tak tanggung-tanggung, hanya kurang dari 5 tahun, Deden pun sudah berhasil memiliki rumah dan mobil sendiri hasil dari jerih payahnya selama ini.

Bahkan, rencana memiliki kapal motor sendiri sudah mulai dirancangnya. Bukan sekedar wacana, puluhan juta rupiah sudah ia investasikan untuk merealisasikan rencananya memiliki kapal sendiri.

“Alhamdullilah sekarang mendukung. Sudah beli rumah, beli mobil saya. Inshaallah sekarang lagi bikin kapal. Mudah-mudahan cepet terealisasi,” kata pria yang juga lulusan S1 disalah satu perguruan tinggi swasta di Kabupaten Pandeglang tersebut.

Dari penghasilan sekitar Rp 1jutaan saat bekerja di instansi pemerintah sejak tahun 2009 hingga 2016. Kini omzet Deden pun bisa mencapai puluhan juta dari hasil mengantar orang yang hendak berlibur ke Taman Nasional Ujung Kulon. Walaupun, pasang surut pun masih kerap dihadapi.

“Omzet perbulan sih tergantung, kalau lagi rame bisa lebih dari Rp 30 juta dalam satu bulan. Tapi kalau sepi berkisar di angka 3-8 jutaan. Setiap bulan sih ada aja yang berangkat. Kecuali kalau Ujung Kulon ditutup kayak kemarin pas corona,” ungkapnya.

Keterbatasan menguasai bahasa Inggris, disadari Deden masih menjadi kendala dirinya. Untuk itu, ia pun masih menjadikan wisatawan lokal sebagai target prioritas dari usahanya. Meski tak jarang, ia pun sempat beberapa kali diminta untuk mengantar wisatawan mancanegara.

“Kebanyakan masih lokal (wisatawan), dari Jakarta, Bandung, Bekasi, Bogor. Kalau bule sih jarang, pernah juga diminta nghandle dulu bule puluhan orang pake kapal pesiar. Saya ajak temen untuk jadi penerjemah,” kelakar Deden sambil tertawa.

Pandemi Corona Membuat Omzet Menurun

Munculnya wabah corona di Indonesia sempat membuat Taman Nasional Ujung Kulon pun ditutup sementara untuk kunjungan wisata. Hal itu pun sempat membuat Deden kalang kabut, bahkan ia pun harus rela berjualan masker demi dapat menyambung hidup keluarganya.

“Duh kemarin pas ditutup, total gak ada pemasukan. Saya terpaksa jualan, apa aja, sampai jualan masker. Yang penting dapur bisa ngebul,” terangnya.

Pasca ditutup sementara sejak maret 2020 lalu, Taman Nasional Ujung Kulon pun resmi dibuka pada 10 Agustus 2020 membuat para pelaku usaha wisata seperti Deden pun kembali tersenyum. Namun dengan penerapan protokol kesehatan dan pembatasan jumlah pengunjung, diakuinya membuat omzetnya mengalami penurunan.

“Sekarang sejak corona, jumlah wisatawan berbeda jauh. Kalau sebelumnya biasa bawa lebih dari 100 orang dalam sebulan. Kini karena dibatasi paling diangka 70 sampai 80 orang. Rame itu biasa di Februari dan Maret, lebih rame kalau libur panjang. Dulu biasa 100 orang lebih saya bawa sekali jalan,” jelasnya. (*/YS)

Honda