Budi Pekerti Dinilai Sebagai Jantung Pendidikan yang Berkebudayaan

SERANG – Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina menyelenggarakan kuliah umum virtual yang “Pendidikan yang Berkebudayaan dalam Konteks Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan,” Kamis, (26/11/2020).

Turut hadir dalam acara itu Intelektual Muslim, Pemikir Kebangsaan, sekaligus penulis buku pendidikan yang berkebudayaan, Yudi Latif, Ketua Nurcholusi Madjid Society, M. Wahyuni Nafis, dan Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Tia Rahmaniah.

Dr. Fatchiah Kertamuda, selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina menyampaikan dalam sambutan awal kuliyah umum itu bahwa gagasan pendidikan yang berkebudayaan sangat erat dengan ide-ide yang diusung oleh Alm. Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), yakni pendiri Universitas Paramadina.

Kemudian, dalam kesempatan itu Yudi Latif menjelaskan, pendidikan yang berkebudayaan pada hakikatnya merupakan pendidikan budi pekerti.

Merujuk pada gagasan Ki Hajar Dewantara kata Yudi, hakikat pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat atau menjadi insan kamil.

“Dan jantung pendidikan adalah budi pekerti,” katanya.

Yudi juga menuturkan, budi yang dimaksud adalah terkait dengan dimensi batin, yakni pikiran, perasaan dan kemauan atau cipta, karsa dan rasa. Sedangkan pekerti berhubungan dengan aspek lahir, yaitu daya.

Kartini dprd serang

“Budi pekerti sama dengan budi daya atau budaya. Dengan demikian, pendidikan budi pekerti itu pendidikan berkebudayaan yang mengintegrasikan daya pikir, daya rasa, daya karsa. pikiran, perasaan, dan kemauan yang melahirkan daya, yang mendorong perbuatan yang baik, benar dan indah,” tuturnyan.

M. Wahyuni Nafis menambahkan, dalam perspektifnya ada empat hal penting dari nilai keparamadinaan yang kontekstual dengan pendidikan yang berkebudayaan.

“Pertama, iman yang menyadarkan manusia akan hakikat dirinya sebagai makhluk spiritual. Kedua, ilmu pengetahuan. Manusia harus bersikap dan bertindak berdasar pengetahuan, bukan ketidaktahuan. Ketiga, amal. Ilmu harus diamalkan, diterapkan dalam sejarah. Keempat, akhlak atau budi pekerti yang menuntun manusia menjalin koneksi yang baik antar sesamanya,” jelasnya.

Hal serupa dipertegas Tia Rahmaniah. Ia menyebut bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengembangan kemampuan dan akhlak yang ditujukan agar terjadi perubahan kognitif, afektif, psikomotor.

“Oleh karena itu, siapa pun yang ingin jadi pendidikan perlu mengenal sisi psikologis agar tepat sasaran,” terangnya.

Selanjutnya, dalam proses pendidikan peserta didik didorong untuk aktif, tak pasif, dan responsif.

“Pendidikan harus memberi reward atas respon bentuk pengakuan, pujian dan lainnya. Jadi, ada interaksi dua arah pendidik dan peserta didik. Dengan kata lain, metode pengajaran diarahkan agar peserta didik menjadi manusia otonom dan kreatif,” katanya.

Oleh sebab itu lanjut Tia, para penyelenggara pendidikan perlu mengetahui seputar perkembangan kognitif manusia, gaya belajar dan sebagainya sebagai modal dalam proses pendidikan yang berhasil. (*/Faqih)

Polda