Bukan Sekedar 3 M, Kebiasaan Sebelum Covid-19 Harus Dirubah Untuk Menciptakan Kebiasaan Baru

Sankyu

Oleh :  Ahmad Basori (Pemerhati Sosial Politik)

Pemerintah mengizinkan sekolah dibuka kembali di semua zonasi covid-19 pada Januari 2021.

Namun, pembukaan sekolah di tengah pandemi yang masih tinggi, bahkan terus mengalami peningkatan bukan tanpa resiko. 

Data terbaru saat ini saja  terjadi penambahan 5000 perhari kasus covid 19 (kompas, 29/11/2020), itu artinya angka positivity rate Indonesia masih di atas 10 persen. 

Menarik apa yang dikemukakan oleh Epidemiolog dari Griffith University, Dicki Budiman, terjadinya kluster-kluster sekolah di Amerika dan Eropa dikarenakan kebijakan kedua negara itu memaksakan untuk membuka kembali sekolah sedangkan angka positivity rate-nya masih diatas sepuluh persen.

Sehingga peningkatan kasus positif pada anak di Amerika terjadi hampir 100 persen pada saat ini.

Selain angka peningkatan penyebaran covid 19 yang masih tinggi, persoalan momentum pilkada di bulan Desember dan liburan tahun baru menjadi persoalan tersendiri. 

Maka dengan adanya dua momentum ini, bulan Januari 2021 bukanlah waktu yang tepat untuk membuka kembali sekolah untuk pembelajaran tatap muka.

Namun, Jika pemerintah tetap memaksakan  untuk membuka sekolah pada Januari 2021, maka sepatutnya dipersiapkan secara matang. Bukan cuma sekadar bekal 3M – memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kebijakan 3M itu mungkin cocok untuk ruang publik yang periode interaksinya terbatas, seperti di mall, rumah ibadah, pasar atau kafe.

Sekda ramadhan

Di sekolah, warga sekolah bisa 8 jam sehari di dalam ruangan dengan interaksi intens. Pola interaksi itu telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Akan dengan mudah pola interaksi itu akan kembali lagi saat sekolah kembali di buka.

Pola kerja yang lama seharusnya tidak berlaku lagi di era kebiasaan baru. Rapat yang bertele-tele, pelayanan administrasi yang manual dan lama, mengajar yang membutuhkan waktu seharian penuh (full day) mesti ditinjau kembali. Karena kita tidak tahu, kejutan-kejutan baru yang di torehkan oleh covid-19. 

Belum lagi kebiasan nongkrong di  kantin sekolah, ngobrol bercanda ria dengan teman sekelas, berinteraksi dengan orang lain di angkot dan ojek online, kebiasaan tidak langsung pulang ke rumah, jalan-jalan dulu ke mall bahkan bioskop.

Old habits never die, mungkin kita punya keinginan ambisius untuk dapat melewati masa pandemi secepatnya. Tetapi ambisi itu seharusnya memilih waktu yang tepat, juga tidak hanya harus disiplin pada protokol kesehatan  menerapkan 3 M. Tetapi ada satu hal yang serius untuk kita terapkan yaitu harus memperbarui kebiasaan lama kita. 

Kebiasaan  sebelum covid-19 harus dirubah untuk menciptakan kebiasa  baru. Budaya kecepatan bekerja, efisiensi waktu, bercanda dan ngobrol yang tidak bermanfaat yang akan  berpotensi menimbulkan kerumunan harus sudah diakhiri.  

Meskipun berat usaha untuk merubahnya harus tetap dilakukan karena merubah kebiasaan lama itu tidak mudah. 

Seperti kata Dr. dr. Taufiq Pasiak, M. Kes, M.Pd, ahli neuroanatomi dan neurosains, mengatakan bahwa membuat sesuatu jadi kebiasaan dibutuhkan usaha lebih. Harus dilakukan secara kontinyu. Menurutnya, riset orang setidaknya butuh 22 hari untuk membentuk kebiasaan baru, terutama kebiasaan yang berkaitan dengan motorik.

Berita tentang rencana sekolah dibuka kembali memang sangat membahagiakan warga, namun sekaligus mengkhawatirkan. 

Pendidikan memang sangat penting, tidak boleh berhenti dalam kondisi apapun. Tetapi Kesehatan dan  Keselamatan warga sekolah harus tetap terjaga dari ancaman covid-19…Stay safe, teman-teman. (***)

Honda