Pilkada Serentak dan Hari Anti Korupsi Sedunia

Dprd ied

Oleh : Birin Sinichi, Mahasiswa UIN SMH Banten

Tanggal 9 Desember menjadi hari yang ditunggu oleh masyarakat di 270 kota/kabupaten di Indonesia. Tanpa terkecuali di Provinsi Banten setidaknya ada 4 kota/kabupaten yang mengikuti pilkada serentak 2020. Diantaranya Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang. Pilkada merupakan salah satu prosedur penting dalam melegitimasi kekuasaan pada sistem demokrasi.

Pada proses pilkada biasanya partai politik saling berkompetisi dalam memenangkan calonnya masing-masing. Namun perlu menjadi catatan, bahwa pilkada tidak hanya semata-mata prosedur rutin yang wajib dijalankan. Tentunya pilkada merupakan medan juang bagi para peserta yang memiliki kepentingan untuk merebut kursi kepala daerah.

Disisi lain tanggal 9 desember tidak hanya berbicara soal pilkada semata, tetapi juga menjadi hari yang sakral sebagai simbolis perlawanan terhadap praktik korupsi di seluruh dunia. Semangat anti korupsi pada tanggal 9 desember menjadi saat yang tepat untuk melakukan evaluasi atas kinerja kepemerintahan daerah. Pilkada sebagai mekanisme konstitusional untuk mengganti pimpinan kepala daerah, haruslah sejalan dengan harapan kita semua dalam menentukan kepala daerah yang jujur. Sebab kepala daerah yang berkinerja buruk dapat dicegah untuk tidak terpilih kembali dengan semangat hari anti korupsi.

Agar pilkada dapat benar-benar menjadi instrumen bagi rakyat dalam memutuskan pilihan pada saat pilkada, tentu saja rakyat sebagai pemilih harus memahami siapa saja yang akan mereka pilih, tentunya dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Selanjutnya mekanisme pilkada harus dilaksanakan secara jujur, adil dan transparan. Semua kandidat dan partai politik haruslah berada pada level persaingan yang sama.

Kita akan mulai berasumsi, bahwa perilaku korup elit politik sudah pada tahap akut yang sangat menjijikan. Menurut Friedrich Nietzsche pemikir dari jerman, memandang bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh sesuatu kekuasaan purba yakni, kehendak untuk berkuasa dan dari dorongan berkuasa itu dapat membutakan segalanya. Hinga mendorong manusia menuju ketamakan dan menjerumuskannya pada kubangan penghianatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Penulis tidak akan membahas secara rinci dan mendalam perihal korupsi di dalam proses pemilu, seperti memanipulasi dana kampanye dan penggunaan sumberdaya Negara. Sebab banyak pengamat politik yang membahas hal itu. Penulis hanya ingin mengajak para pembaca melihat realitas semu tentang politik biaya tinggi sebagai akar tindakan korup

Kita mulai dari hal yang paling sederhana:

pertama, membeli kebijakan partai politik atau rekomendasi partai. Hal ini telah menempatkan partai politik sebagai kendaraan sewaan atau yang kita kenal dengan istilah sewa perahu, yang dipergunakan untuk mendanai pembentukan koalisi partai-partai pendukung pasangan calon kepala daerah, mensandarkan uang sebagai pengikat kontrak politik dan kepentingan. Gejala demikian menegaskan partai politik sebagai mesin korupsi dalam demokrasi.

Kedua, uang dipergunakan untuk membeli suara rakyat, para pelaku elit politik telah mewarisi kebudayaan memenagi pemilihan dengan cara menabur uang kepada pemilih sebagai sasaran utamanya. Jelas, kebudayaan ini tidak menutup kemungkinan terjadi di pilkada 2020 di tengah krisis ekonomi akibat pandemi.

dprd tangsel

Terbukti pada tanggal 30 November 2020 Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis hukuman kepada pelaku politik uang pilkada Tangerang Selatan

Ketiga, pembentukan Tim dan akomodasi kemenangan. Kita lihat realitas, seperti membayar saksi di setiap TPS. Sementara ada lebih dari 100 hari pertarungan yang ketat, yang tentunya membutuhkan baliho, spanduk, kampanye langsung dan tidak langsung, membayar survey, konsultasi politik, tim media dan buzzer.

Sebagai implikasi dari sistem pilkada langsung bersandarkan suara mayoritas, hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos dalam politik saat ini begitu mahal. Menteri dalam negeri mengungkapkan untuk menjadi kepala daerah setidaknya harus memiliki uang sebesar Rp. 50 miliar.

Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh kepala daerah misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp. 3 juta/bulan atau total 180 Juta selama lima tahun menjabat.

Hal demikianlah yang yang dapat memicu korupsi, dan pemufakatan jahat menjadi cara untuk mengeruk keuntungan. Dengan modal awal yang begitu besar orientasi yang dimiliki nantinya, bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Dilansir dari https://nasional.okezone.com/read/2020/10/15/337/2294380/icw-catat-294-kepala-daerah-tersandung-kasus-korupsi. ICW mencatat ada 294 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Masih terlintas dalam ingatan masyarakat Banten Khususnya masyarakat di kota Cilegon.

Pada tanggal 23 september 2017 KPK tetapkan Walikota Cilegon Imam Ariyadi sebagai tersangka kasus suap proses perizinan kawasan industri. Serta berbagai kasus korupsi lainnya baik dalam skala besar maupun kecil, menunjukan bahwa perilaku korup elit politik adalah suatu penyakit yang sudah sangat kritis.

Uang telah menjadi kekuatan dominan dalam pilkada, siapapun yang mampuh memobilisasi kekuatan uang , lebih terbuka memenangi pilkada. Sehingga politik biaya tinggi telah meninggalkan pertarungan ide dan gagasan yang bisa digunakan untuk perbaikan pemerintahan daerah.

Meminjam perkataan Mao Zedong yang menyatakan politik adalah perang tanpa pertumpahan darah sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Perang dan politik merupakan ajang untuk merebut tahta kekuasaan.

Benar dengan kekuasaan maka seorang penguasa akan mampuh memegang kendali atas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, konstestan pilkada menghalalkan segala cara salah satunya dengan politik uang. Politik biaya tinggi sangatlah berbahaya untuk kualitas demokrasi dan akan menghasilakan pemimpin dengan kualitas yang rendah.

Mari kita baca kembali, apa yang di wariskan dari perjuangan reformasi, keadilan, kesejahteraan, kedaulatan rakyat, dan lain hal. Sudahkah itu semua tercapai? Untukmu yang akan memilih, gunakanlah hati nurani dan akal yang sehat. Bukan karena uang, hadiah dan janji yang akan berujung pada praktik korupsi. (***)

Golkat ied