Kiprah jurnalis Muslim di Era Digital

Oleh Aat Surya Safaat, Penulis adalah Wartawan Senior dan Wakil Sekretaris Komisi Infokom MUI

Saat ini kita sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Era ini ditandai dengan masuknya teknologi digital dan internet di berbagai bidang kehidupan, baik di sektor ekonomi, bisnis, perbankan, dan infrastruktur, maupun informasi dan komunikasi.

Kemajuan teknologi informasi juga telah mendorong dunia jurnalistik masuk ke era konvergensi media, suatu era di mana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke media cetak, media elektronik, dan media online yang dimiliki masing-masing dengan platform digital.

Konsekuensinya, saat ini informasi apapun seperti “melimpah”, tidak sulit dicari, dan murah. Informasi tidak lagi menjadi milik orang-orang kota, terpelajar, dan pemilik modal. Informasi  telah menjadi milik semua orang tanpa batas wilayah dan status sosial.

Semua layanan informasi cepat saji itu membuktikan bahwa perkembangan teknologi informasi berlangsung sangat pesat, di mana hampir setiap bidang kehidupan saat ini banyak dipengaruhi oleh media massa dan media sosial seperti facebook, instagram, dan twitter.   

Begitu bangun tidur pagi-pagi, “sarapan” pertama adalah membaca pesan di media sosial, membaca koran online, atau menonton televisi. Berangkat ke tempat kerja, di mobil mendengarkan berita-berita dan talkshow radio.

Saat tiba di kantor, kegiatan pertama yang dilakukan adalah menyalakan komputer dan membuka situs-situs berita. Sambil bekerja, kadang ada WA atau SMS yang menginformasikan dari mulai jalan macet, unjuk rasa, sampai pesawat jatuh atau peristiwa-peristiwa penting lainnya.

Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ”one wire world”, di mana orang hanya memerlukan satu alat berupa telpon selular untuk melakukan apa saja, dari sekedar bicara, mendengar radio, menonton TV, mengirim e-mail, bahkan sampai mentransfer uang.

Karenanya, dunia jurnalisme, termasuk di Indonesia pun mau tidak mau mengalami pergeseran secara mendasar serta menghasilkan apa yang disebut cyber journalism, online journalism, dan convergent journalism.

Islamophobia

Di tengah kemajuan teknologi informasi dengan sisi positif dan negatifnya, ternyata ada satu masalah krusial yang masih terkait media, yakni apa yang disebut “Islamophobia”.

Islamophobia adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir kuat dan logis, bahkan dapat dikatakan mengada-ada tentang Islam.

Media massa Barat sering menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran, dan membatasi pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak memungkinkan adanya kebebasan.

Media massa di sana, dari koran, radio, televisi hingga media online secara kompak sering mempropagandakan anti-Islam melalui artikel dan karikatur-karikatur yang mendiskreditkan Islam. Denmark adalah negara yang dikenal kerap mempublikasikan karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Di Belanda bahkan sempat ada partai politik yang secara resmi menyatakan anti-Islam. Partai politik tersebut dipimpin oleh seorang aktivis, Geert Wilders. Haluan politik Geert adalah kanan nasionalis yang liberal.

Geert dikenal sebagai seorang politikus anti-Islam dan anti-imigran. Pada 2008, ia bersama rekannya, Arnoud van Doorn membuat film pendek berjudul “Fitna” yang menyulut kontroversi.

Film itu berisi tentang pandangan yang miring mengenai Islam dan Al-Qur’an. Film yang menggemparkan dan menyulut kemarahan Dunia Islam itu dirilis di internet pada 27 Maret 2008.

Geert juga pernah menyuarakan usulan agar Pemerintah Belanda melarang peredaran Al-Qur’an di Belanda. Pria kelahiran 6 September 1963 itu mengaku tidak punya masalah dengan para pemeluk Islam, tetapi ia sangat membenci ideologi mereka (ajaran Islam).

Tetapi satu hal yang mengejutkan terjadi, rekan Geert, yakni Arnoud Van Doorn ternyata kemudian masuk Islam (menjadi mualaf), bahkan menunaikan ibadah Haji pada 2013 sebagaimana diberitakan Saudi Gazette pada 23 April 2013.

Ia diberitakan memantapkan langkahnya sebagai seorang muslim dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di sana ia melaksanakan shalat dan memohon maaf karena menjadi bagian dari film “Fitna” yang menghujat Islam dan Rasulullah.

 Arnoud mengaku, kemarahan ummat Islam yang mengutuk film Fitna yang dibuatnya bersama Geert Wilders “memaksanya” untuk mempelajari Islam yang kemudian menuntunnya pada hidayah, yakni Islam “Rakhmatan lila’lamin” (yang memberi rakhmat untuk sekalian alam).

 Terkait Islamophobia di Eropa, terakhir ditunjukkan oleh pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Oktober 2020 yang menggambarkan Islam sebagai agama yang sedang mengalami krisis serta menuding Islam sebagai gerakan radikal dan teroris yang menjadi ancaman terhadap Perancis sejak 2012.

 Presiden Prancis juga menyatakan tidak akan mencegah atau melarang penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Pernyataan Macron itu merupakan ungkapan intoleransi dan kebencian yang memalukan bagi kepala negara seperti Prancis, padahal jelas bukan ranah kepentingannya untuk mereformasi agama, apalagi Islam dimana Macron juga bukan seorang pemeluk Islam.

Sebagai pemimpin Prancis, Macron semestinya berbicara tentang Islam dengan rasa hormat, dan bukannya menghasut sebagian besar warganya dalam pidato yang tidak bertanggung jawab terhadap Islam dan agama lain, sekedar untuk memuaskan sekelompok fanatik di Prancis agar bersimpati kepadanya.

Penghinaan kepada Nabi Muhammad dalam karikatur itu sendiri bukanlah kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sikap seperti itu dapat memicu gesekan yang meluas dan konflik horizontal di Prancis sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa.

Pembenaran tindakan penghinaan dengan kedok kebebasan pers dan kebebasan berekspresi merupakan kekeliruan pandangan tentang perbedaan antara hak asasi manusia dalam mendapatkan kebebasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas nama mendukung kebebasan.

Pernyataan Macron yang kontroversial itu menunjukkan sikap Islamophobia serta mempraktekkan kebencian dan diskriminasi terhadap ummat Islam dan simbol-simbol yang disakralkannya, dimana hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Peran jurnalis Muslim

Kini ummat Islam, khususnya para jurnalis Muslim harus benar-benar menyadari bahwa mereka pun dapat memanfaatkan media massa di era digital ini untuk menghadapi propaganda anti-Islam.

Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai jurnalis, mereka idealnya harus senantiasa berupaya meneladani sifat-sifat kenabian, yakni shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas).

Para jurnalis Muslim tidak harus bekerja di lembaga pers yang jelas-jelas merupakan media Islam. Mereka dapat bekerja di lembaga pers manapun dengan tetap memegang teguh idealisme dan membawa nilai-nilai Islam dalam setiap karya jurnalistiknya, baik secara langsung (tersurat) maupun tidak langsung (tersirat).

Selain itu gerakan dakwah mengcounter Islamophobia dapat dilakukan melalui penulisan buku oleh para cendekiawan Muslim yang mengulas tentang potensi ajaran Islam untuk menyelesaikan problema manusia, sekaligus menjawab isu-isu miring tentang Islam.

Meski sebagian agenda dalam mengcounter propaganda anti Islam sudah dilakukan, upaya itu masih dirasakan belum cukup terkait sangat gencarnya propaganda luas Barat yang menyuarakan anti-Islam atau kebencian terhadap Islam.

Dalam hubungan ini, kendala utama media Islam adalah belum adanya koordinasi yang baik antar-media, sementara media-media massa di Barat bergerak secara kompak menyudutkan Islam.

Sebagai contoh, tidak lama setelah sebuah koran di Denmark mempublikasikan karikatur penistaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW, koran-koran Barat lainnya melakukan hal yang sama.

Kendala lain yang dihadapi media-media Islam adalah kurang adanya sensitivitas dalam mendakwahkan Islam, padahal konsumen mereka adalah ummat Islam sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang dianutnya.

Tetapi, bagaimanapun, media massa Islam dan para jurnalis Muslim di berbagai negara, termasuk di Indonesia sejatinya mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam menghadapi propaganda anti-Islam yang digembar-gemborkan media massa Barat.

Lebih dari itu, pada era digital ini, bukan hanya jurnalis Muslim, kalangan Islam berpendidikan tinggi pun dapat mempengaruhi opini dunia dengan menyiarkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara terus menerus atau berkesinambungan.

Langkah strategis itu bisa dilakukan secara bersama-sama dengan memanfaatkan secara optimal semua saluran media massa dan media sosial di era digital ini. Dengan begitu Insya Allah ummat Islam akan sanggup menghadapi “ghazwul fikri” (perang pemikiran) dengan Dunia Barat.

Dalam hubungan ini, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kini menjadi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada beberapa kesempatan mengemukakan, gerakan dakwah, termasuk melalui media massa harus dilakukan secara profesional dengan terus mengedepankan apa yang disebut “Islam Wasathiyah” (Islam moderat).

Islam Wasathiyah adalah keislaman jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tadhabbur).

Maka, media Islam dan wartawan Muslim saat ini dituntut supaya pandai berinovasi dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah wartawan profesional yang mampu mengikuti perkembangan zaman serta senantiasa mewarnai kiprah kesehariannya dengan nilai-nilai Islam Wasathiyah. (***)

Honda