LDII Banten Harap Jangan Hilangkan Identitas Bangsa Dalam Bermedia Sosial

Sankyu

SERANG – Saling serang para tokoh di media sosial mengundang keprihatinan ormas keagamaan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Pasalnya, saling serang dengan muatan politik tersebut, sudah melewati area paling sensitif dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketua DPW LDII Banten Edwin Sumiroza menegaskan, Bangsa Indonesia perlu belajar dari sejarah, keberhasilan meraih kemerdekaan karena persatuan yang didasarkan mengedepankan kepentingan bersama. Serta menjaga toleransi, dan menghormati perbedaan.

“Situasinya selalu sama hanya saja musuh pemecah belah ini berada ditangan kita. Mari cerdas mengendalikan gadget, mari menjadi warga dan umat yang bijak menjaga kerukunan bangsa,” ujar Edwin Sumiroza, Jum’at (5/2/2021).

Edwin pun menambahkan, bangsa Indonesia dipicu oleh ketidakpuasan dan perasaan terpinggirkan dimasa lalu. Sehingga pada awal kemerdekaan, terjadi pemberontakan di beberapa wilayah.

“Kini ancaman serangan terhadap hal yang paling sensitif yakni SARA, yang memicu pula rasa terpinggirkan dan ketidakadilan,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso mengatakan, media sosial kini menjurus pada perilaku nirakhlak yang dipertontonkan ke publik. Meskipun bangsa ini direkatkan oleh Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, namun komentar yang menyerang SARA sangat disayangkan.

Menurutnya, wajah media sosial akhir-akhir ini tak mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang menghargai perbedaan, toleran, tenggang rasa, dan tepo seliro serta gotong-royong.

“Nasionalisme kita bukan seperti Jerman ataupun bangsa Skandinavia yang disatukan oleh kesamaan bahasa dan suku. Indonesia menyatu karena perasaan senasib sebagai bangsa yang dijajah, ditindas, dan dihina,” lanjut Chriswanto.

Sekda ramadhan

Suku-suku bangsa di Nusantara yang kini membangun Indonesia, memiliki perbedaan yang bila diusik rentan menciptakan disintegrasi. Chriswanto menukil pesan Bung Karno bahwa Indonesia butuh nation building, sebuah proses panjang yang harus dipelihara, dirawat, dirangsang, dibimbing, dan diemong.

“Namun, dalam 10 tahun terakhir, kepribadian bangsa Indonesia mendapat ancaman dari media sosial. Penggunaan media sosial yang tak bijak, makin menghilangkan karakter bangsa yang berjiwa gotong royong. Dalam kasus buzzer, mereka memainkan berbagai isu agar daya nalar kritis masyarakat menjadi tumpul,” katanya.

Bagi mereka yang bergerak atas nama ideologi, terus-menerus membombardir ruang publik dalam media sosial dengan kebenaran yang tunggal, tak ada ruang bagi ideologi yang lain. Jadi tak heran ujaran kebencian dan SARA menjadi pemandangan lazim di media sosial.

Sementara itu praktisi telematika Lukman A. Fatah mengatakan, agar masyarakat tak mudah membagikan atau sharing, hal-hal yang merusak kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

“Dalam media sosial cek dan ricek sangat lemah, apalagi dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, dalam Al Quran diajarkan supaya berita itu ditabayun atau dicek lagi kebenarannya,” papar Lukman yang juga Ketua DPP LDII.

Ia mengatakan, bila cek dan ricek telah dilakukan, hal lain adalah memikirkan kembali, manfaat dari penyebaran informasi tersebut.

“Manfaat dan mudarat sebelum sharing informasi harus dilakukan meskipun mengetahui informasi tersebut adalah benar,” tambahnya.

Menurutnya, sikap ingin menjadi orang pertama yang tahu atau ingin jadi yang awal menyebarkan informasi, dengan tanpa mempertimbangkan baik-buruknya jika informasi itu tersebar bukanlah sifat yang terpuji. Hal itu, bisa memicu disintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, menanggapi pendengung atau buzzer sebaiknya diabaikan.

“Pendengung yang dengungannya diabaikan, nanti diam sendiri,” timpalnya. (*/A.Laksono)

Honda