Perang Besar, Kiamat Kecil

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Stres internasional oleh virus Corona itu merupakan perang besar, Al-Harb al-Akbar, bagi manusia, meskipun ia hanya kiamat kecil, Al-Qiyamah As-Shughra dalam ukuran qadla qadar Allah Swt atas ciptaan-Nya.

Kita semua adalah prajurit peperangan itu, yang sampai saat ini belum mengerti persis langkah-langkah Panglima Perang kita, bagaimana konsep dasar perlawanan kita terhadap musuh, bagaimana strategi yang diterapkan — sebab informasi tentang itu serabutan dan kalau dibaca kembali sejak menjelang dan awal peperangaan: pernyataan beliau-beliau berubah-ubah.

Itu pun sebenarnya bukan perang. Manusia tidak bisa menyerang Coronavirus. Tidak bisa menyerbu Coronavirus sebagai subjek. Paling jauh hanya mempertahankan diri agar tidak terlalu kalah oleh virus siluman itu. Posisi saat ini ummat manusia, dengan segala kecanggihan teknologinya, termasuk sophistikasi senjata-senjata perangnya – sudah kalah dan semakin kalah. Ketika menulis ini, jumlah manusia terjangkit Covid-19 sedunia sebanyak 1,604,072, yang meninggal 95,731, yang sembuh 356,656 orang. Itu sudah sangat kalah.

Padahal penduduk Bumi sekitar 6,5 miliar dan virus Corona hanya semata wayang. Ia nempel ke manusia, numpang replikasi sampai sebanyak berapa pun manusia yang ditempelinya. Lebih mengerikan lagi kalau kekalahan manusia itu tidak hanya berupa sakit dan mati, tapi juga gila.

“Orang-orang yang makan mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.”

Terserah bagaimana penafsiran manusia selama ini tentang riba. Tetapi jelas riba adalah suatu jenis dusta ekonomi, manipulasi hitungan, kebohongan ilmu dan kecurangan akhlaq. Itu berlangsung tidak hanya di dunia per-Bank-an, tapi juga dalam perpolitikan, sistem kekuasaan, arus informasi, budaya komunikasi, hubungan Negara dan rakyat dan apapun saja yang manusia kerjakan. Menurut Tuhan, kita semua ini gila. Baik dalam urusan dengan-Nya maupun dengan sesama manusia.

Paremeternya di sini adalah bahwa bohong itu gila. Sebab gila adalah keadaan di mana akal tidak berlaku. Dan bohong adalah pengingkaran terhadap kesehatan akal, yang membuat akal tidak berlaku. Sehingga berulang-ulang Tuhan kasih warning: “Afala ta’qilun? Afala tatafakkarun?” Apakah engkau tidak menggunakan akal? Apakah engkau tidak berpikir? Andaikan Tuhan pakai jiwa Bahasa Indonesia, mungkin firman-Nya berbunyi: “Dasar otak dengkul!.”

Firman-firman Allah tentang dusta atau kebohongan di Kitab-Nya pada umumnya menyangkut eksistensi Allah, yang substansinya adalah kekufuran dan kemusyrikan. Tetapi kalau manusia mau berpikir asosiatif dialektis, akan menemukan bahwa dusta tentang Allah pada praktiknya melimpah menjadi dusta atas atau tentang ciptaan-Nya. Maka kemusyrikan dan kekufuran sebenarnya sangat teraplikasi dan terimplementasi pada kehidupan horisontal ummat manusia sendiri, pada skala kecil maupun besar. Dari rumah tangga hingga Negara. Dari keluarga hingga globalisasi.

Kalau Anda melihat tayangan-tayangan yang mengagumkan tentang alam, tetumbuhan dan binatang, misalnya di National Geographic, Nat Geo Wild dll, bibir Anda atau sekurang-kurang hati Anda menggetarkan kalimat “Rabbana ma khalaqta hadza bathila, subhanaKa wa qina ‘adzabannar.” Atau minimal “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.”

Tetapi amatilah, dengarkan baik-baik, dalam sebuah paket tayangan yang penayangnya juga sangat kagum kepada bahan yang ditayangkan — berapa kalikah, atau pernahkah satu kali saja pun — Alllah disebut?

Semoga semua yang bekerja untuk proses berat penelitian yang menghasilkan tayangan-tayangan dahsyat itu disayang oleh Tuhan dan dipuji oleh para Malaikat, meskipun mereka tidak pernah mengingat-Nya beserta para Malaikat-Nya, karena toh sangat berjasa kepada sesama manusia.

Setiap orang yang mengerti rangkaian berpikir dan berpikir rangkaian, akan otomatis selalu memiliki asosiasi bahwa dusta tentang dan kepada Allah terkait erat dengan dusta pada atau tentang segala ciptaan-Nya: manusia, alam, makhluk-makhluk non-manusia, Hari Akhirat dst. Alih-alih menerima dan memperhitungkan konteks Akhirat sebagai Hari Pembalasan.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Manusia, dengan ilmu, kebudayaan dan peradabannya selalu mendahului Allah. Artinya, mengedepankan dirinya dan membelakangkan Tuhan.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”.

Bagi kebanyakan manusia, tercermin dari perilaku budaya dan nilai peradabannya, menomorduakan Tuhan dan menomorsatukan dirinya sendiri. Kalau pakai idiom Allah “janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi”, maka ciri utama akhlaq kebudayaan manusia adalah merendahkan Nabi. Merendahkan Nabi adalah merendahkan Tuhan. Dengan berbagai kemungkinan luas pemaknaannya.

Di Era 1990-an saya pernah membisiki seorang Ustadz Muballigh: “Ustadz, jangan sampai kita lebih terkenal dari Allah dan Rasulullah. Jangan sampai kata-kata kita lebih populer dibanding firman dan hadits. Nanti kuwalat kita”.

Seorang Kiai Gus Jawa Timur di peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur di Alun-alun Tuban berceramah: “Gus Dur bukan hanya tokoh termasyhur. Gus Dur adalah Wali Besar termasyhur di bumi maupun di langit. Tiket bis kereta pesawat habis diborong jutaan orang yang melayat Gus Dur. Coba nanti kalau Cak Nun mati, hitung berapa orang yang takziyah?”

Meskipun KiaiKanjeng hampir mengamuk dan Mbak Via marah, tetapi alhamdulillah saya dianugerahi kesabaran. Saya merespons: “Tidak terbantahkan di dunia maupun akhirat bahwa Gus Dur adalah orang besar. Tetapi dengan segala kerendahan hati saya memohon agar kebesaran Gus Dur jangan dipakai untuk membesari siapa pun, termasuk saya”.

Saya wong cilik. Orang biasa dan rendahan. Tetapi saya makhluk Allah, dan saya tidak mengizinkan kebesaran Gus Dur dipakai untuk “membesari” makhluk-Nya termasuk saya, ketinggian derajat Gus Dur dipakai untuk “meninggii” makhluk Allah termasuk saya. Saya angkat kedua tangan, kedua telapak saya arahkan ke massa se-Alun-alun, saya sorong dan mereka semua rebah ke belakang punggungnya. Usai acara, semua Kiai Tuban meminta pertemuan dengan saya.

Benar-benar lengkap surah Al-Hujurat itu. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Sekarang, sampai waktu yang akan lama, kita ikut menanggung sifat takabur ummat manusia kepada Tuhan: Corona merebahkan kita semua ke belakang punggung di rumah kita masing-masing. (*/Caknun.com)

Honda