Merawat Pendidikan Kita

Oleh : Sidrin Mahdud (Ketua 1 Bidang Kaderisasi PD PII Kota Serang)

“Pendidikan bukan sekedar mendidik akal dan alam pikir, melainkan membangun empati, kepekaan dan jiwa yang utuh sebagai manusia”

Belum lama ini transisi kepemimpinan bangsa telah berlangsung, kabinet telah diisi oleh wajah baru. Masih segar dalam ingatan kita semua sebuah pilihan yang mengejutkan dilakukan oleh Presiden terpilih, yaitu mendapuk bos gojek menjadi nahkoda dunia pendidikan. Bukan main, sebuah bidang yang di tangannya tertanggung kecerdasan dan masa depan bangsa. Hal ini secara spontan membuat kita heboh dan beramai-ramai mengekspresikan kehebohan melalui meme hiburan yang menyangkut pautkan aplikasi gojek dengan dunia pendidikan. Mulai dari membayar spp melalui go-pay hingga memilih mata pelajaran sesuai aplikasi order.

Penunjukan ini memang terkesan kontroversial. Di tengah banyaknya stok akademisi yang menggeluti dunia pendidikan, seorang anak muda bernama Nadiem-lah yang ternyata menjadi pilihan. Tapi Nadiem bukan sembarang orang, dia merupakan pemuda cerdas yang berhasil menyelesaikan studi di Universitas Harvard. Meskipun latar belakang studinya bukan spesifik di bidang pendidikan, dia merupakan putra bangsa yang paham bagaimana seharusnya seorang warga negara berkiprah di zaman milenial. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana ia menciptakan raksasa unicorn di bidang transportasi. Barangkali, inilah salah satu alasan presiden Jokowi mempercayakan pos mentri pendidikan kepada beliau, terlebih lagi beliau bukan orang yang berkecimpung di partai politik.

Dalam pengambilan keputusan ini, motif Jokowi cenderung mengabaikan transaksi politik dan dengan berani melakukan gambling, mempertaruhkan masa depan bangsa dengan kartu “generasi milenial”. Jokowi membaca bahwa dunia ini sudah memasuki fase baru yaitu era milenial dan kita perlu mempersiapkan bangsa ini, salah satunya melalui pendidikan. Jika di ibaratkan pada pasukan crussader, Jokowi telah menggemuruhkan teriakan Assemble The Army! melalui pendidikan.

Kartini dprd serang

Bangsa ini akan dilibatkan dalam arena tanding yang masif. Namun, ada yang tidak bisa kita lewatkan dalam melangkah di percaturan global, yaitu kenyataan histori bahwa bangsa ini dibangun melalui kearifan lokal, termasuk pendidikannya. Bahkan kita memiliki tokoh besar yang terkenal dengan tri-konsepnya yang menjunjung kearifan lokal bangsa ini. Karena semaju apapun bangsa ini diarahkan, kearifan lokal tetap harus dipertahankan sebagai karakter bangsa.

Jika mitologi Yunani memiliki Athena sebagai dewa ilmu pengetahuan, dan Brazil memiliki Paulo Fereire sebagai tokoh besar pendidikan yang terkenal dengan karyanya yaitu pendidikan yang membebaskan kaum tertindas, maka bangsa ini memiliki Ki Hajar Dewantara yang mengusung pola Tut Wuri Handayani. Konsep ini merupakan track yang telah disusun dengan matang melalui pengalaman empirisnya memperjuangkan pendidikan terkhusus kepada pribumi yang masih terjajah pada waktu itu. Jika dipahami secara konsepsi, Ki Hajar Dewantara menginginkan sebuah pendidikan yang memberikan progres timbal balik antara guru dan peserta didik. Dan guru harus mampu mendekat kan persoalan krusial masyarakat ke tengah tengah lingkaran pemikiran siswa. Pahlawan pendidikan bangsa ini sadar bahwa kearifan lokal harus tetap diusung dalam pendidikan.

Kearifan lokal yang telah melekat dan menjadi karakter bangsa ini adalah gotong royong. Sebuah konsep kerjasama timbal balik yang bersifat mutualisme untuk mencapai hasil dan tujuan bersama. Dewasa ini, istilah gotong royong lebih dikenal dengan nama kolaborasi. Dalam konsep Dewantara, guru adalah peluru yang ketajamannya dibutuhkan untuk dapat menanamkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, mencerdaskan insting peserta didik, serta melipatgandakan kepekaan peserta didik terhadap realitas kehidupan masyarakat. Dalam semboyan pendidikan dijelaskan dengan gamblang bahwa dari belakang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan. Jika pendidikan kita telah mengarah pada sistem kompetitif yang menuntut nilai angka semata, maka guru sebagai “peluru tajamnya” dewantara dituntut untuk mengembalikan fitrah pendidikan kita ke sistem kolaboratif yang kaya nilai kearifan lokal. Sekalipun era milenial adalah era kompetisi, kolaborasi adalah karakter bangsa yang tidak bisa dikesampingkan, khususnya dalam lingkup pendidikan.

Sudah 60 tahun sejak Ki Hajar Dewantara berpulang kembali ke rahim bumi, pendidikan kita telah berkembang jauh. Perkembangan pendidikan ini bahkan telah jauh melewati urat nadi pendidikan itu sendiri, yaitu akal budi manusia. Realitas hari ini dengan jelas menggambarkan pendidikan kita seolah hanya menjadi mesin pencetak pengangguran dan pekerja murah. Selain itu pendidikan juga telah menjadi ladang bisnis yang diprivatisasi. Meskipun di sisi lain pendidikan kita telah merebut beberapa medali bergengsi, secara menyeluruh pendidikan kita belum merata dan berkeadilan. Demokrasi dalam pendidikan belum terjalankan sepenuhnya, ada ketimpangan fasilitas, keterbatasan akses terhadap pendidikan, kemelaratan guru-guru honorer dan guru di pelosok, kurikulum yang rumit, sistem pendidikan yang mendorong murid menjadi individualis hingga kekerasan, penindasan dan pelecehan seksual dalam dunia pendidikan menjadi wajah pendidikan kita hari ini.

Lalu dengan segudang masalah, apakah nadiem sanggup mengembalikan pendidikan kita yang telah “berubah” Untuk kembali pada fitrah dan kearifan lokalnya serta berhasil mewujudkan cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa secara merata? Tidak ada jawaban pasti akan pertanyaan ini selain memberikan kesempatan kepada mantan bos gojek untuk menakhodai gerbong pendidikan. Selain itu bangsa ini juga memanggil kita untuk melibatkan diri dalam pembangunan pendidikan negri ini. Sebagai manusia, adalah suatu ketidakadilan jika kita hanya menyerahkan segunung permasalahan bangsa hanya ke satu atau dua pundak saja tanpa terlibat sedikitpun. Adalah hal yang kontradiktif jika seorang manusia berakal membiarkan dirinya hanya menjadi penonton ditengah keterpurukan bangsanya. Mari merawat pendidikan kita, mengembalikannya pada jalur semula yang sesuai dengan karakter bangsa. Sebab, pendidikan bukan sekedar mendidik akal dan alam pikir, melainkan membangun empati, kepekaan dan jiwa yang utuh sebagai manusia. (***)

Polda