Warga Pandeglang Laporkan Penipuan Tanah 63 Ha yang Diduga Libatkan Oknum Pemprov dan Kejaksaan

Sankyu

SERANG – Sejumlah warga Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, melalui Tim Advokasi Masyarakat Desa Rancapinang (TAM-R) melaporkan kasus penipuan dan penggelapan yang mengakibatkan sejumlah warga harus kehilangan hak atas tanahnya seluas 63 hektare yang diduga melibatkan sejumlah oknum pemerintah di Banten dan oknum kejaksaan.

Persoalan tersebut bermula saat ada Program Sertifikasi Tanas (PST) pada tahun 1990-1991 sebanyak 80 orang warga Desa Rancapinang mengikuti program nasional soal sertifikat tanah gratis. Namun seiring berjalannya waktu, hingga menunggu sampai 17 tahun, 80 warga Desa Rancapinang tak kunjung menerima sertifikat atas tanahnya tersebut.

Hingga akhirnya, pada awal 2017, tanah seluas 63 hektare tersebut dikuasakan kepada satu orang pemilik bernama Merrysanti Tangga. Sedangkan warga hanya mendapatkan hak garap pada tahun 2017 tersebut, dan bukan sebagai pemilik.

Cerita ini berlanjut, bahwa pada pengunjung tahun 2017, Merrysanti ingin menjual sebidang tanah tersebut kepada salah seorang pengusaha. Penjualan tanah seluas 63 hektar tersebut ternyata mengalami kendala. Hingga akhirnya pihak pembeli membawa seorang oknum Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Banten berinisial E, yang bertugas mengurus proses pelepasan tanah dari warga.

Keterlibatan seorang oknum jaksa berinisial E, yang memfasilitasi proyek pembebasan lahan, dinilai warga sebuah kejanggalan. Terlebih kejadian inipun telah memakan proses dan waktu yang cukup panjang, dengan akhirnya 28 orang yang seharusnya mendapatkan uang ganti rugi tersebut tak kunjung mendapatkan kejelasan.

Kapolres Pandeglang, AKBP Indra Lutrianti Amstono membenarkan bahwa pihaknya tengah melakukan penyelidikan atas kasus yang melibatkan sejumlah warga Desa Rancapinang. Dikatakannya, bahwa saat ini pihaknya telah menetapkan satu orang tersangka berinisial R.

“Yang jelas ini bukan persoalan sengketa lahan, ini penipuan dan penggelapan. Tersangka pun baru seorang,” ucap AKBP Indra saat dikonfirmasi via telepon seluler, Selasa (6/8/2019).

Namun disampaikan AKBP Indra, penyelidikan yang dilakukan pihaknya hanya sebatas menangani kasus penipuan dan penggelapannya saja, tidak sampai kepada ranah kasus sertifikasi tanahnya.

“Saat ini masih berproses dan dilakukan penyelidikan, dan pengumpulan bukti. Sedangkan kasus ini pun berdasarkan laporan dari pemilik tanah tentang adanya penipuan dan penggelapan jual beli lahan,” ungkapnya.

AKBP Indra mengaku bahwa kendati memakan banyak waktu, proses penyelidikan yang dilakukan pihaknya hampir selesai, hal ini dikarenakan tidak adanya kendala dan hambatan proses penyelidikannya.

“Walaupun butuh waktu, tapi kemungkinan bisa bertambah atau bisa berkurang kasus penipuan dan penggelapan tersebut,” ujarnya.

Sementara, saat ditemui secara terpisah, oknum Jaksa Banten berinisial E yang dituding oleh Tim Advokasi Masyarakat Desa Rancapinang terlibat dalam kasus penggelapan atas hak tanah warga Desa Rancapinang, secara tegas dia membantahnya.

“Persoalan itu terjadi tahun 1997. Saya punya sebidang tanah di lokasi tersebut seluas 10 hektare. Jadi awalnya sertifikat ga jadi-jadi, dan tahun 1999 saya ajukan ulang sertifikat tanah milik peninggalan keluarga ke BPN Pandeglang, ternyata sudah diambil oleh Pak Haji Toni, orang Labuan. Saat itu beliau terkenal jaya sebagai pembebasan lahan,” ucapnya.

Sekda ramadhan

Ia melanjutkan, bahwa saat dirinya mendatangi kediaman Haji Toni di Labuan, ia mendapat penjelasan dari Haji Toni yang mengaku sebagai pihak yang membiayai sertifikasi tanah tersebut dengan cara meminjam uang kepada Merrysanti yang seorang etnis tionghoa.

“Beberapa tokoh mulai bermunculan seperti Heman Astar dan Sekdes Rancapinang. Kita pun mencari informasi kediaman Merrysanti Tangga orang China tersebut untuk meminta penyelesaian,” tuturnya.

Satu tahun berlalu tahun 2000, lanjutnya, persoalan itu pun belum terselesaikan sampai dirinya mendapatkan tugas pendidikan di Kejaksaan. Dan sekitar tahun 2006, dikatakannya, bahwa ia mendapatkan tugas kembali di Kejaksaan Kabupaten Lebak.

“Eh pas disitu ada yang minat tanah milik masyarakat Rancapinang bernama Erfan Efendi Sugianto, pengusaha asal Jakarta untuk dijadikan tambak udang. Banyak tumpang tindih antara warga dengan warga, dan orang lain dengan orang lain. Makanya persoalannya cukup ribet,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa adanya keinginan dari pengusaha asal Jakarta ini untuk membeli tanah tersebut. Hal itu diakuinya, dijadikan momentum saat itu hanya untuk mengambil tanah miliknya seluas 10 hektare dan tanah milik warga lainnya.

“Akhirnya, Orang China bernama Merrysanti Tangga itu mau menjualnya, dan saya punya inisiasi. Saya mengaku sebagai peminat baru dengan menyamar sebagai Haji Daman, dan dikirimlah foto saya. Merrysanti pun setuju, terima bersih di angka Rp. 5 milyar,” paparnya.

Diterangkannya, Ia pun saat itu langsung mengumpulkan syarat-syarat kepemilikan tanah seluas 10 hektare miliknya dan milik warga Desa Rancapinang lainnya, hingga mencapai 100 buku surat tanah.

“Sampai disitu semuanya selesai, dan peristiwa pun mulai terjadi pada 2019 dengan mentok 8 orang warga yang tidak mau nerima duit. Langsunglah Rachmat dan Saprudin yang mengendalikan semuanya, dan mau jual tanah tersebut asalkan melalui dua orang itu,” jelasnya.

Ia pun mengatakan bahwa dirinya didatangi oleh Rachmat dan Saprudin perihal proses jual beli tanah tersebut dan sudah melakukan negosiasi atas prosesnya.

“Terjadi obrolan panjang, sepintas legalitas kami terima. Pernyataan garap, ke notaris sudah beres. Rachmat telepon minta dibayar besok. Nah pembayaran antara perusahaan dengan Rachmat tarik menarik. Saat disuruh datang, Pak Rachmat banyak alasan dan bilang sudah tua si pemilik lahannya. Akhirnya pembayaraan melalui Rachmat. Pembayaran tanah secara transfer senilai Rp. 360 juta ke rekeningnya dan fee transport senilai Rp. 80 juta,” pungkasnya.

Namun setelah 3 hari, diterangkannya, dirinya mendapat telepon dari salah seorang warga Desa Rancapinang yang mengaku belum menerima uang pembayaran penjualan tanahnya tersebut. Padahal, lanjutnya, ada 4 warga yang saat itu setuju pembayarannya melalui saudara Rachmat dan sudah dibayarkan.

“Saya pun menyuruhnya untuk mengambil saja uangnya ke Rachmat,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, dikatakannya, bahwa ia mendengar kabar bahwa Rachmat malah ditangkap Polisi. Sehingga dari situ, sambungnya, tidak ada lagi masyarakat maupun perusahaan yang menanyakan perihal hal itu kepadanya. Ia pun menegaskan bahwa apa yang ditudingkan oleh pihak TAM-R kepadanya adalah sebuah kebohongan.

“TAM-R itu bohong, yang jelas yang saya tau prona. Itu kronologis pada saat Rachmat ditahan dengan alasan disuruh oleh saya. Saya pun nyuruh kan bukan nyuruh makan uang tersebut. Maka buktikan saja, jika saya terlibat. Kita ikuti proses hukum aja, yang menyebut nama saya terlibat mari kita buktikan. Biarkan proses hukum yang menjawab,” tandasnya. (*/Ocit)

Honda