EMPAT KAPAL BELANDA yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di perairan Banten pada 27 Juni 1596, tepat hari ini 422 tahun lalu. Sebelum angkat sauh dari Amsterdam, Cornelis mendapat informasi bahwa di timur jauh sana, ada kepulauan penghasil rempah-rempah: Nusantara.
Pada hari itulah, orang-orang Belanda telah menemukan Banten yang sejatinya hanya merupakan sebagian kecil dari kepulauan rempah-rempah paling menggiurkan di dunia. Praktik kolonialisme Belanda di Nusantara segera dimulai, dan Cornelis de Houtman adalah pembuka jalannya.
Cornelis Sang Perintis
Desas-desus mengenai kepulauan rempah-rempah yang terletak di negeri antah-berantah menjadi isu yang marak diperbincangkan oleh kalangan pedagang di Eropa pada akhir abad ke-16 itu, termasuk di Belanda.
Kaum saudagar di negeri kincir angin kemudian mengutus Cornelis de Houtman pergi ke Portugal, tepatnya ke Lisboa (Lisbon). Kala itu, sebagian wilayah dunia, termasuk beberapa tempat yang memiliki potensi rempah-rempah, memang dikuasai oleh Kerajaan Portugis. Sebagian lainnya diduduki oleh Kerajaan Spanyol.
Disebutkan oleh George Masselman dalamThe Cradle of Colonialism (1963), Cornelis berangkat dari Amsterdam menuju Lisboa untuk melakukan investigasi sekaligus mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai kebenaran atas keberadaan pulau surga itu (hlm. 86).
Selama dua tahun, Cornelis menghabiskan waktunya di Portugal. Dan ketika ia kembali ke negerinya, Jan Huygen van Linschoten, seorang Belanda yang bekerja untuk Portugis di India, kebetulan juga baru saja pulang ke Amsterdam.
Sepulang dari India itu, van Linschoten menerbitkan laporan perjalanannya dengan tajuk Itinerario (Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2004: 53). Dalam buku laporan tersebut, van Linschoten menjabarkan potensi yang terkandung di Asia untuk kepentingan perdagangan bangsa Eropa, termasuk India, Persia (Iran), dan Nusantara.
Hasil informasi yang dibawa Cornelis dari Lisboa ternyata nyaris selaras dengan laporan van Linschoten. Kepulauan rempah-rempah yang dimaksud terletak di timur jauh sana, lebih jauh lagi dari India, dan dikenal dengan nama Bantam atau Banten.
Pada 1594 itu, para pedagang di Belanda, termasuk Cornelis, ini lantas bersatu dan membentuk perserikatan niaga. Perkumpulan ini diberi nama Compagnie van verre te Amsterdam atau perusahaan jarak Jauh yang berpusat di Amsterdam (John Bucknill, The Coins of the Dutch East Indies, 2000: 9).
Perserikatan saudagar Belanda ini kemudian mulai menyusun rencana untuk melakukan penjelahan samudera dengan harapan bisa menemukan kepulauan rempah-rempah. Cornelis de Houtman ditunjuk untuk memimpin pelayaran besar dan penuh tantangan yang akan dimulai pada 2 April 1595 ini.
Cornelis menjadi salah satu orang paling berpengaruh. Selain karena berhasil mendapatkan informasi dari Portugal, termasuk pernah ditangkap dan dipenjara oleh otoritas di sana, ia juga menyumbang dana sebesar 300.000 gulden untuk persiapan pelayaran itu, sebagaimana diungkapkan Peter Fitzsimons (2012)dalam buku berjudul Batavia.
Pelayaran Penuh Bahaya
Ada empat kapal yang diberangkatkan, masing-masing bernama Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken. Dipaparkan dalam buku Ship Decoration: 1630-1780 (2013) karya Andy Peters, dengan empat kapal inilah orang-orang Belanda untuk pertamakalinya mengarungi lautan menuju timur jauh (hlm. 16).
Ternyata tidak mudah bagi armada besar Belanda pimpinan Cornelis de Houtman untuk mencapai bahkan menemukan Banten. Begitu banyak rintangan yang mereka hadapi selama mengarungi lautan.
Baru beberapa pekan setelah meninggalkan Amsterdam, banyak anggota penghuni kapal yang terserang penyakit. Paling parah adalah wabah sariawan lantaran menipisnya stok makanan. Belum lagi terjangan badai yang nyaris saban waktu melanda keempat kapal tersebut.
Intrik-intrik selama perjalanan, terutama konflik antar-penumpang atau kru yang tidak suka dengan aturan dari kapten kapal, juga menjadi kendala tersendiri. Sejumlah pertikaian terjadi dan tak jarang menyebabkan nyawa melayang, juga tidak sedikit yang harus dikurung di penjara kapal.
Saat singgah di Madagaskar, pulau yang berada di Samudera Hinida selepas pantai timur Afrika, semakin banyak kru yang tewas. Tidak kurang dari 70 orang meninggal dunia dan dikuburkan di pulau ini. Teluk Madagaskar kemudian dikenal dengan istilah “kuburan orang-orang Belanda”.
Dibeberkan oleh Russell Shorto dalamAmsterdam: A History of the World’s Most Liberal City (2013), hanya dalam tempo enam bulan sejak keberangkatan, lebih dari seperempat orang yang ikut dalam ekspedisi ini harus kehilangan nyawa.
Cornelis dan kru tampaknya tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi iklim dan alam tropis yang jauh berbeda dengan kondisi di Belanda. Satu per satu awak kapal bergelimpangan, pingsan lantaran kehausan dan tidak tahan dengan cuaca panas khas kawasan tropis.
Menemukan Nusantara
Setelah lebih dari berbulan-bulan mengarungi samudera luas dengan aneka macam rintangan yang amat mengerikan, akhirnya armada Cornelis de Houtman berlabuh di Banten pada 27 Juni 1596. Saat tiba, hanya 249 orang yang selamat sampai di tujuan.
Cornelis dan para saudagar besar beserta kru mengenakan gelar kemiliteran untuk menambah wibawa mereka menghadapi orang-orang di tanah yang baru mereka temukan itu. Harapannya, kehadiran mereka bisa diterima, bahkan dihormati oleh tuan rumah.
Jurrien & Foskelien van Goor dalam Prelude to Colonialism: The Dutch in Asia (2004) menyebutkan, orang-orang Belanda yang sejatinya berprofesi sebagai pedagang itu banyak yang memakai gelar kapten atau laksamana. Sedangkan Cornelis memilih gelar kapten mayor (hlm. 27).
Merapat di bandar dagang milik Kesultanan Banten, Cornelis terperangah melihat suasana pelabuhan yang ternyata riuh oleh kesibukan. Kotanya pun besar dan cukup ramai, bahkan tidak jauh berbeda dengan kota tersibuk di negeri Belanda, Amsterdam.
William Lodewijk, saudagar Belanda yang ikut dalam rombongan Cornelis, seperti dikutip dari buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2007) karya Tri Hatmadji, menghitung paling tidak ada 36 kapal asing yang sedang singgah dan berlabuh di Banten kala itu (hlm. 142).
Dalam pengamatan Lodewijk dan Cornelis, sebagaimana dikutip dari buku Catatan Masa Lalu Banten (1993) yang disusun Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, pusat pemerintahan Kesultanan Banten tertata dengan baik dan rapi, dikelilingi oleh tembok lebar dari bata merah (hlm. 87).
Luas kota ini kira-kira nyaris setara dengan Amsterdam, dan seperti ibukota Belanda itu, di Kota Banten juga terdapat banyak kanal yang seluruhnya bisa dilayari. Kapal-kapal Belanda yang ditumpangi Cornelis, juga semua kapal asing, wajib memasuki pintu gerbang khusus dan harus membayar ongkos masuk.
Awalnya, kedatangan bangsa asing ini memang disambut dengan baik oleh penduduk setempat, termasuk oleh otoritas Kesultanan Banten. Saat itu, Banten diperintah oleh Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir yang baru saja naik takhta (1596-1647).
Cornelis seharusnya bisa menunaikan misinya, yakni membeli rempah-rempah yang dibutuhkan, karena transaksi perniagaan di Banten amat gampang. Barter, bahkan mata uang, sudah menjadi alat pertukaran yang cukup populer.
Namun, orang-orang Belanda yang belum lama menginjakkan kaki di tanah Banten itu justru bertingkah buruk, terutama dengan seenaknya keluar-masuk Kota Banten. Penduduk setempat yang tadinya menerima kini berbalik sikap lantaran tidak suka dengan perangai orang-orang asing itu.
Akibat perilaku yang tak pantas itu, banyak orang yang ditangkap oleh aparat Kesultanan Banten dan dijebloskan ke penjara, salah satunya adalah Frederick de Houtman, kakak Cornelis. Portugis juga turut bermain dalam situasi ini. Kala itu, Portugis –yang punya berpengaruh besar dalam perdagangan di beberapa wilayah di Nusantara –bermitra dengan Kesultanan Banten.
Disebutkan oleh Slamet Muljana dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, pihak Cornelis terpaksa membayar uang pembebasan. Mereka diusir, digiring ke luar dengan dengan tembakan meriam dari benteng Kota Banten (hlm. 271).
Misi Cornelis di Banten memang belum berhasil kendati tidak bisa juga dibilang gagal sama sekali. Namun, inilah untuk pertamakalinya armada Belanda menemukan jalur dan akhirnya tiba di negeri surganya rempah-rempah. Dan, Cornelis de Houtman adalah perintis arahnya, pembuka jalan kolonialisme Belanda di Nusantara. (*/Tirto)