Lippo, Bahaya Kartel Bisnis Kesehatan di Balik Kisruh BPJS

Oleh : Hersubeno Arief

18 Desember 2018 malam Jalan Gubeng, Surabaya amblas. Ambruknya crane pembangunan Rumah Sakit (RS) Siloam membuat salah satu ruas jalan utama di kota pahlawan itu terputus total.

Walikota Surabaya Risma relatif anteng-anteng saja. Tidak ngamuk besar seperti saat Taman Bungkul rusak saat pembagian es krim gratis pada bulan Mei 2014.

Barangkali banyak yang lupa rumah sakit itu dulu bernama RS Budi Mulia. Setelah diakuisi oleh Lippo, namanya diubah menjadi RS Siloam Surabaya.

Pola akuisisi membuat group usaha di bawah kelompok Lippo itu tumbuh sangat cepat. Mereka kini menjadi jaringan RS dan klinik swasta terbesar di Indonesia.

Di Bali Siloam mengambil alih RS BIMC Nusa Dua dan BIMC Kuta. Di Jakarta perusahaan yang tercatat di lantai bursa dengan kode saham SILO ini adalah mengakuisisi PT Rashal Siar Cakra Medika yang mengelola Rumah Sakit Asri.

Pada tahun 2017 SILO mengambil alih RS Sentosa, Bekasi RS Graha Ultima Medika, Mataram, RS Putera Bahagia, Cirebon, dan RS Hosana Medica, Bekasi. Total dana yangdigelontorkan sebesar Rp 451.5 miliar.

Sementara tahun 2018 SILO mengakuisisi dua perusahaan bidang kesehatan yakni PT Manajemen Perkasa Makmur PT (MPM) dan PT Sentosa Indonesia Jaya (SIJ) senilai total Rp 64 miliar.

Selain RS, mereka juga membangun belasan klinik. Pada akhir tahun 2019 PT Siloam International Hospitals menargetkan memiliki 50 RS yang tersebar di seluruh Indonesia.

Hampir semua kota besar di Indonesia telah berdiri RS Siloam. Mereka masih terganjal di Padang dan Banda Aceh. Di Palembang akhirnya diizinkan berdiri setelah namanya diubah menjadi Siloam Sriwijaya. Warga menolak karena RS tersebut diduga juga mengemban misi penyebaran agama.

Siloam dalam injil diyakini sebagai kolam tempat pengambilan air suci, dan sumber air untuk kota Yerusalem. Siloam berarti “Yang diutus.” Simbol RS Siloam adalah tanda salib yang dibelit huruf S.

Pola akuisisi yang dilakukan oleh Lippo inilah yang dalam beberapa hari terakhir menjadi perbincangan publik. Dipicu oleh sebuah artikel yang ditulis seorang wartawan senior Tjahja Gunawan berjudul “Skenario Akuisisi RS Di Balik Pemutusan Kontrak BPJS Kesehatan?”

Dalam artikel tersebut Tjahja menengarai adanya skenario akuisisi terhadap sejumlah RS maupun klinik yang kolaps akibat berhenti kerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Dengan kekuatan modal di tangan Lippo dan sejumah pemodal besar, seperti Mayapada Group tinggal jadi semacam “penadah,” menampung RS maupun klinik yang butuh suntikan modal, maupun tak lagi mampu meneruskan operasionalnya karena kesulitan keuangan.

Pada awal tahun ini sejumlah RS yang melayani pasien yang menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak bisa meneruskan kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan karena tidak lolos akreditasi. Namun keputusan tersebut dibatalkan, karena dampaknya pasien membludag di RS yang masih melayani program JKN.

Selain itu banyak juga RS yang mengalami kesulitan likuiditas karena pembayaran dari BPJS Kesehatan menunggak. Terlambatnya pembayaran dari BPJS membuat rumah sakit tidak bisa membayar obat, dokter, dan juga karyawannya. Banyak RS yang terancam bangkrut.

Seperti diakui oleh Dirut BPJS dr Fahmi Idris sampai akhir Oktober 2018, mereka memiliki utang yang jatuh tempo sebesar Rp 7.2 triliun. Sementara dana yang tersedia hanya Rp 154 miliar.

Presiden Jokowi sempat marah besar kepada Fahmi dan Menkes Nita F Moeloek karena BPJS selalu kekurangan dana, padahal pemerintah telah memberi dana bantuan sebesar Rp 4.9 triliun.

Kemarahan Jokowi ini sesungguhnya salah alamat. Masalah defisit anggaran BPJS ini terjadi karena jumlah iuran yang dibayarkan oleh peserta, jauh lebih kecil dibandingkan manfaat yang diperoleh. Selama hal ini tidak dibenahi, iuran tidak dinaikkan, maka BPJS akan selamanya defisit.

Berdasarkan UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 27 ayat 5, kewenangan untuk menaikkan iuran berada di tangan presiden. Bukan Menkes dan Dirut BPJS.

Dengan 200 juta pengguna, 93 juta peserta BPJS yang premi bulanannya dibayarkan pemerintah, dipastikan Jokowi tidak akan berani menaikkan iuran. Dampak elektoralnya menjelang Pilpres, akan sangat merugikan.

Kartel Kesehatan
Selain Siloam pemain besar RS adalah Kalbe Group (RS Mitra Keluarga), Sinar Mas Group (Eka hospital) dan RS Mayapada.

Memulai usaha dari bisnis farmasi, Kalbe sejak 1989 mulai merambah bisnis RS melalui PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA). Di mulai dari RS Mitra Keluarga, Jatinegara (1989), saat ini mereka telah memiliki 17 RS. Pada semester I 2019 akan dibangun kembali dua rumah sakit di Jatiasih, Bekasi, dan Bintaro.

Sejumlah konglomerasi juga diketahui terjun ke bisnis kesehatan. Sinar Mas misalnya membangun sejumlah Eka Hospital, sementara Mayapada Grup melalui PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ) juga telah memiliki RS di Jakarta, Tangerang, dan Bogor.

Banyaknya pemodal besar yang masuk ke bisnis ini menunjukkan sektor kesehatan sangat menggiurkan. Dengan hadirnya BPJS Kesehatan ceruk pasarnya semakin gemuk. Mereka membidik potensi ini.

Lippo misalnya pada tahun 2017 menargetkan telah memiliki 10.000 tempat tidur, dan merawat 15 juta pasien. Mereka juga membangun klinik pengumpan (feeder) untuk “menyuplai” RS rujukan. Saat ini Silom memiliki klinik di 8 provinsi dan 21 kota.

Di luar kelompok bisnis besar tadi, jaringan RS yang cukup besar, dimiliki oleh Muhammadiyah. Hanya saja RS di lingkungan Muhammadiyah tidak berada dalam satu holding. Mereka juga sulit mendapatkan dana segar dan besar karena tidak melantai di bursa saham.

Sangat sulit bagi RS kecil untuk bersaing dengan jaringan RS yang dimiliki pemodal besar. Jika pemerintah tidak turun tangan, dan melakukan akreditasi secara ketat, kematian mereka tinggal menunggu waktu.

Kondisinya kira-kira bisa kita samakan dengan para pedagang kelontong tradisional yang berhadapan dengan Alfamart dan Indomart. Pilihannya mati secara perlahan, atau menjalin kerjasama/akuisisi dengan jaringan RS besar.

Saat itulah pemain-pemain besar itu menjelma menjadi kartel. Ada ketergantungan besar masyarakat dan pemerintah kepada mereka. Mereka bisa menentukan kebijakan dan arah layanan kesehatan nasional. (*/hersubenoarief.com)

BPJSHersubeno AriefKartel Bisnis Kesehatan
Comments (0)
Add Comment