LEBAK -Seratus hari pertama kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Lebak berjalan, namun suara publik justru dipenuhi kegelisahan.
Harapan akan gebrakan nyata dan arah pembangunan yang tegas seolah tak kunjung terwujud.
Di tengah realita masyarakat yang masih berjuang dengan persoalan klasik seperti akses pendidikan yang timpang, harga pangan yang tak stabil, serta layanan kesehatan yang belum merata, pemerintah dinilai lebih sibuk dengan seremoni daripada aksi nyata.
“Janji-janji kampanye seperti tinggal jargon belaka. Tidak terlihat terobosan besar untuk kemaslahatan masyarakat,” ujar Rohimin, Ketua Koordinator KUMALA, Selasa (17/6/2026).
Menurutnya, 100 hari kerja seharusnya menjadi panggung awal untuk menunjukkan komitmen dan kinerja konkret.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Publik merasa dibiarkan menebak arah kebijakan, tanpa kejelasan peta jalan pembangunan.
“Kami tak akan diam. KUMALA akan tetap menjadi mitra kritis pemerintah. Kalau terus seperti ini, saya yakin Bupati dan Wakil Bupati tidak bisa tidur nyenyak,” tegasnya.
Dalam aksi beberapa hari lalu, KUMALA membawa sembilan poin tuntutan yang dianggap mendesak dan relevan dengan kondisi Kabupaten Lebak saat ini, antara lain, mendesak penindakan terhadap perusahaan dan tambang yang tidak taat pajak, optimalisasi pelaksanaan Perda, pembentukan regulasi jam operasional kendaraan berat.
Kemudian, pemerataan pembangunan infrastruktur, transparansi seleksi calon kepala dinas dan peningkatan kompetensinya, peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan.
Terakhir, percepatan penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan sosial, penambahan anggaran untuk program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Lebak.
Isu kendaraan berat yang beroperasi di luar jam semestinya juga disoroti. Hal ini disampaikan oleh Idham, Ketua Perwakilan KUMALA Rangkasbitung.
Ia menilai maraknya truk bermuatan besar yang melintas seenaknya telah mempercepat kerusakan jalan kabupaten.
“Masyarakat sudah resah. Tanpa pengaturan jam operasional, truk-truk ini tidak hanya mengganggu kenyamanan tapi juga memperparah kondisi jalan yang seharusnya jadi prioritas pembangunan,” jelasnya.
Kritik terbuka ini menjadi sinyal bahwa publik tidak sekadar menuntut perubahan, melainkan juga menagih komitmen yang telah disampaikan di masa kampanye.
Di tengah kebutuhan riil masyarakat, 100 hari kerja seharusnya bukan hanya seremoni, tapi momentum untuk bekerja dan menjawab harapan. (*/Sahrul).