Mengenang Apollo, Bioskop Pertama di Kota Cilegon

BI Banten Belanja Nataru

*) Oleh: Bambang Irawan

PADA ERA tahun 80 hingga 90-an, Bioskop Apollo yang berada di Kampung Baru, Kelurahan Jombang, Kecamatan Jombang Kota Cilegon, merupakan bioskop yang amat terkenal di kalangan warga Cilegon. Terutama saat perayaan lebaran Idul Fitri tiba, bioskop tersebut amat ramai menjadi hiburan rakyat dengan menonton film.

Tapi siapa yang tahu, ternyata di bangunan yang kini tidak terpakai lagi itu adalah bekas makam kuburan orang belanda yang meninggal di Kota Cilegon, hingga bioskop itu dibangun kuburan tersebut tidak dipindah.

Gedung bioskop tersebut dibangun sekitar tahun 70-an, dimana sebelumnya saya sebagai penulis pernah bersekolah di sekolah dasar (SD) Mardiyuana (1966) yang kini telah menjadi SD Negeri 7 Kota Cilegon. Setiap pulang sekolah selalu melewati makam tersebut, karena gedung SD tempat sekolah berseberangan dengan makam belanda yang kini menjadi gedung tidak terpakai Ex bioskop Apollo.

Diceritakan Nenek saya, yang merupakan keturunan pejuang Geger Cilegon, Haji Akhiya, bahwa kuburan tersebut bernama kuburan Kerkhoff atau kuburan khusus bagi orang Belanda.

Mengapa di Kota Cilegon ada kuburan orang belanda? Hal ini dikarenakan pada masa lalu Cilegon menjadi pusat pemerintahan afdelingen sehingga merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, baik bangsa Eropa maupun pribumi. Maka sangat wajar jika di Cilegon terdapat tempat pemakaman bagi orang-orang Eropa di era pemerintahan kolonial Belanda.

Begitu juga ketika terjadi peristiwa Geger Cilegon 1888, dan semua pejabat pemerintah Belanda yang mati dibantai dikuburkan di tempat itu juga. Diantaranya Asisten Residen Gubbels beserta istri dan kedua anaknya, Kepala Penjualan Garam Ulrich Bachet, Juru Tulis kantor asisten residen Hendrik Francois Dumas, dan Kepala Pemboran J. Grondhout.

Kemudian sebagai penghormatan kepada mereka yang menjadi korban pada tragedi berdarah 9 Juli 1888, Residen Banten pada masa itu membangun monumen peringatan berupa tugu, yang tujuannya agar sanak sodara beserta anak keturunanya kelak dapat datang dan berziarah ke Cilegon.

Namun ketika bioskop Apollo dibangun di bekas lahan pemakaman itu, semua kuburan diratakan dan tugu peringatan itu pun dibongkar tanpa sisa.
Sejak saat itu, setiap malam selalu terdengar orang yang bercakap-cakap. Kebetulan Jarak dari rumah saya memang tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit berjalan kaki ke Selatan dan menyebrang jalan raya Cilegon-Serang, namun masa itu tidak seramai seperti sekarang.

Pijat Refleksi

Pada suatu hari, sehabis Isya saya berangkat kesana, tapi tidak mendatangi loket penjual karcis karena memang saya tidak bawa uang. Tentu saja tanpa pamit pada orang tua, sebab tak mungkin mengizinkan anaknya yang masih kelas 5 SD pergi sendiri ke gedung bioskop, terlebih lagi pada malam hari.

Di bagian kanan gedung bioskop Apollo terdapat sebuah selokan atau got yang ukurannya cukup besar, apalagi buat badan saya yang cilik kentring. Sepanjang permukaan selokan itu ditutupi oleh papan-papan sehingga orang bisa berjalan di atasnya. Karena saya ingin sekali mengetahui apa yang ada di dalam, maka tanpa pikir panjang saya langsung masuk ke dalam selokan melalui ujung bagian depan gedung dan muncul di bagian dalam sana.

Pada saat memasuki selokan, saya berjalan tanpa menyentuh permukan air kotor. Namun dengan cara menapakan kedua belah kaki dan tangan pada kedua sisi tembok selokan yang mempunyai kemiringan tiga puluh derajat.

Dalam keadaan gelap dan pengap, perlahan tapi pasti saya terus bergerak menelusuri selokan itu menuju seberkas sinar yang tampak di ujung sana. Samar-samar terdengar suara jerit dan teriakan yang sangat mengerikan. Saat itu saya memang tidak merasa ketakutan karena memang tidak mengetahui kalau tempat ini bekas kuburan.

Apalagi kisah tragis yang menimpa anak Asisten Residen. Elly dan Dora, gadis kecil, yang mati dicincang dan kepalanya pecah setelah dihajar oleh batu besar. Mereka meregang nyawa, ketika gerakan perlawanan yang dipimpin oleh para kiyai dari seantero Banten meletus, yang kemudian dikenal dengan istilah Geger Cilegon 1888. Andai saja saya sudah mendengar cerita tragis tentang peristiwa itu, pasti merinding dan saya juga tidak berani masuk ke tempat dimana mereka pernah dikuburkan.

Namun di masa kini, peristiwa sejarah terutama keberadaan kuburan belanda sudah tidak ada yang tahu, sehingga saya menulis kisah ini untuk mengingatkan kembali kisah perjuangan para pahlawan Geger Cilegon yang telah gugur demi merebut kemerdekaan, namun sayangnya jasa-jasa mereka kini terlupakan.

Ada pepatah yang mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa para pahlawannya. Dalam tulisan ini kita bisa melihat bagaimana bangsa Belanda menghormati jasa para pahlawannya yang meninggal dalam tragedi berdarah dengan membangun sebuah tugu, yang pada setiap sisi-sisinya bertuliskan nama-nama mereka yang meninggal dalam tugas.

Namun, apakah bangsa kita juga sudah berbuat hal yang sama bagi para syuhada yang gugur dalam perjuangannya dalam menumpas penjajahan Belanda. Subhanallah. (*)

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Budaya Cilegon (LBC)

PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien