PANDEGLANG – Terkait polemik pengangkatan Dirut Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Berkah Pandeglang Akademisi Universitas Mathla’ul Anwar Said Arian meminta Bupati Pandeglang Irna Narulita untuk patuh pada perundangan-undangan yang ada tentang rumah sakit.
“Tidak ada tendensius pada pihak manapun namun ini amanat dari Pasal 34 UU nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit mutlak menyatakan kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis (dokter/dokter spesialis) agar menciptakan pemerintahan daerah yang kondusif sesuai amanat konsitusi,” ungkapnya saat dihubungi Fakta Banten, Minggu, (7/8/2022).
Ia menjelaskan perintah UU mesti dipatuhi pelanggaran atas undang-undang berarti melawan konstitusi dan akibatnya akan banyak dampak jika kepala atau direktur RS bukan dari tenaga medis. Dalam konsitusi sudah dijelaskan seperti akreditasi RS tidak akan lulus jika standar mutlak tidak dipenuhi diantaranya RS dipimpin oleh tenaga medis. Jika rumah sakit tidak terakreditasi artinya standar mutunya pasti jeblok maka bupati harus bertanggung jawab karena RS tidak mendapatkan nilai akreditasinya.
“Implikasi keputusan bupati mengangkat Direktur rumah sakit bukan dari tenaga medis ini bisa kemana mana, pelayanan kesehatan akan buruk, Pendapatan Asli Daerah juga akan menurun dan yang lebih penting lagi Bupati bisa diinterpelasi oleh DPRD karena melanggar undang undang, jadi saran dari saya Irna ikuti saja aturan perundang-undangan jangan sampai ini merugikan masyarakat,” tegas Said.
Terpisah praktisi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Daulat Rakyat Indonesia Dede Kurniawan menjelaskan
Polemik terpilihnya Eniyati selaku Dirut RSUD memang didalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit tidak disebutkan adanya larangan dan sanksi apabila yang menjadi Kepala (Direktur) Rumah Sakit dari tenaga paramedis. Akan tetapi didalam Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Rumah Sakit yang sudah ada harus menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang ini, paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
“Coba kita lihat dengan terpilihnya Eniyati sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Berkah Pandeglang, apakah sudah memiliki kompetensi atau tidak sebagai Direktur. Jawabannya bisa merujuk pada salah satu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971/Menkes/Per/XI/2009 Tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan,” ujar Dede.
Ia menjelaskan sesuai Permenkes diatas di Pasal 10 disebutkan dengan jelas dan poin-poinya sebagai berikut.
Ayat (1) Direktur Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
Ayat (2) Direktur Rumah Sakit telah mengikuti pelatihan perumahsakitan meliputi kepemimpinan, kewirausahaan, rencana strategis bisnis, rencana aksi strategis, rencana implementasi dan rencana tahunan, tatakelola rumah sakit, standar pelayanan minimal, sistem akuntabilitas, sistem remunerasi rumah sakit, pengelolaan sumber daya manusia;
Ayat (3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi sebelum atau paling lama satu tahun pertama setelah menduduki jabatan struktural.
Ayat (4) Pengalaman jabatan Direktur diutamakan meliputi
(a) Direktur Rumah Sakit Kelas A pernah memimpin Rumah Sakit pernah memimpin Rumah Sakit kelas B dan/atau pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Rumah Sakit Kelas A paling singkat selama 3 (tiga) tahun;
(b) Direktur Rumah Sakit Kelas B pernah memimpin Rumah Sakit pernah memimpin Rumah Sakit kelas C dan/atau pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Rumah Sakit Kelas B paling singkat selama 3 (tiga) tahun;
(c) Direktur Rumah Sakit Kelas C pernah memimpin Rumah Sakit pernah memimpin Rumah Sakit kelas D dan/atau pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Rumah Sakit Kelas C paling singkat selama 1 (satu) tahun;
(d) Direktur Rumah Sakit Kelas D pernah memimpin Puskesmas paling singkat selama 1 (satu) tahun;
Masih kata Dede adanya polemik pengangkatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Berkah Pandeglang tersebut adalah ia mengingatkan bahwa, karena Indonesia adalah negara hukum, karena itu harus memberikan kepastian hukum yang jelas pula pada semua kegiatan pemerintahan.
“Negara kita negara hukum dan pada dasarnya seseorang dalam melaksanakan tugasnya itu diperintah oleh undang – undang bukan oleh pemimpinnya, dalam istilah hukum disebut the rule of law not of man, langkah selanjutnya untuk yang terpilih harusnya segera mengundurkan diri secara tertulis dan Bupati membatalkan SK untuk Eniyati jika ini dilanjutkan berarti adanya dugaan penyalahgunaan wewenang,” pungkasnya. (*/Oriel/Gus)