JAKARTA – Proyek Blast Furnace, (proyek pembangunan pabrik yang akan menghasilkan hot metal) milik PT Krakatau Steel Tbk kini mendapat sorotan publik setelah proyek ini diungkapkan oleh Komisaris Independen Roy Maningkas.
Roy mengungkapkan bahwa proyek Blast Furnace itu bisa membuat perusahaan merugi hingga Rp 1,17- 1,38 triliun per tahun (US$ 85-96 juta). Pasalnya harga pokok produksi dari Blast Furnace justru menjadi lebih mahal, otomatis harga produk pun akan lebih mahal di pasaran.
“Saya menghitung harga pokok produksi akan lebih mahal sekitar US$ 70-82 per ton. Kalau kapasitasnya 1,2 juta ton kan besar sekali kerugiannya,” kata Roy, Rabu (24/7/2019).
Ia berkali-kali melayangkan surat pada direksi maupun Kementerian BUMN perihal proyek untuk menghasilkan hot metal tersebut. Pada kenyataannya proyek dijalankan terus, hingga direksi menyatakan siap beroperasi. Padahal Roy menilai proyek tersebut belum siap dijalankan.
“Kami berkali-kali kirim surat ke direksi dan Kementerian BUMN, karena ini bukan lampu kuning tapi lampu merah,” tegasnya.
Untuk proyek Blast Furnace Krakatau Steel sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun. Persiapan operasi Project Blast Furnace ini dimulai sejak 2011.
Blast Furnace atau biasa juga disebut dengan tanur tiup digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat.
Menanggapi ini, Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, yang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.
Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.
“Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu,” kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Dia menegaskan dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS, studi kelayakan) atau tidak.
Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga sehingga bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.
“Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di Krakatau Steel, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai,” tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
“Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai 3 bulan operasi atau 1 tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih masih sistem lama.” (*/CNBC)