Larangan Azan yang Picu Peristiwa Geger Cilegon Banten
FAKTA BANTEN – Puisi “Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati Sukarnoputri di acara peragaan busana Anne Avantie, Kamis, (29/3), menuai kontroversi. Bahkan, Sukmawati dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan penistaan agama. Pasalnya, puisi itu menyinggung syariat Islam, cadar, dan suara azan.
Seperti ini petikan puisinya: Aku tak tahu syariat Islam/Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/Lebih merdu dari alunan azanmu.
Dalam sejarah Indonesia, soal azan pernah menjadi salah satu pemicu pemberontakan di Cilegon, Banten, yang disebut juga Geger Cilegon pada 1888.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut bahwa tersiar desas-desus, khususnya di Beji dan sekitarnya, yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah Belanda telah mengeluarkan larangan azan dan menyelenggarakan zikir.
“Dalam sidang pengadilan, Haji Makid didakwa telah menyiarkan kabar yang provokatif itu,” tulis Sartono dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Haji Makid memiliki kebun yang berbatasan dengan kebun asisten residen di Anyer, Johan Hendrik Hubert Gubbels. Dia mempunyai sebuah langgar tempat tetangga dan murid-muridnya menjalankan salat dan zikir. Dari menara bambu setinggi 10 meter, seorang muazin menyerukan azan lima kali sehari.
Pada waktu itu, istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, menderita sakit kepala kronis, sehingga azan terasa mengganggunya. Gubbels meminta kepada Haji Makid agar tidak menggunakan suara yang keras dalam beribadah. Dia juga menyatakan keberatan pada acara-acara zikir yang biasanya sampai larut malam.
Patih Raden Penna, yang menyampaikan pesan asisten residen itu kepada Haji Makid kabarnya mengeluarkan kata-kata menghina: “tidaklah perlu bersembahyang dengan suara yang keras, bukan hanya karena hal itu mengganggu tetangga, tetapi juga karena Tuhan tidak tuli.” Hal lain yang menyakitkan hati rakyat, khususnya menyangkut agama adalah mereka tidak diperbolehkan merayakan kawinan dan khitanan dengan arak-arakan yang mewah, takbiran, musik gamelan, dan pertunjukan tari-tarian.
“Dengan sendirinya, persoalan-persoalan itu sangat menyakitkan hati rakyat di kala semangat keagamaan sedang menggelora; setiap saat, orang dapat membuat perasaan benci terhadap orang-orang kafir,” kata Sartono.
Menurut Sartono, pemberontakan yang terjadi pada 9 Juli 1888 itu karena berbagai faktor. Banten memiliki tradisi memberontak sejak tahun 1809. Ketegangan terus-menerus yang bersumber pada keadaan di mana satu lapisan masyarakat mengalami keterasingan politik dan kehilangan hak istimewa, yaitu kaum bangsawan yang masih keturunan Kesultanan Banten. Penetrasi kolonial yang secara berangsur mengganggu kehidupan beragama, seperti kasus keberatan atas azan dan beribadah dengan suara keras.
Terdapat pemimpin revolusioner yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan, yaitu Syekh Abdul Karim al-Bantani sebagai ideolog dan Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan. Dan diciptakan organisasi untuk memobilisasi sumber daya manusia untuk memberontak, yaitu tarekat di mana Syekh Abdul Karim al-Bantani menanamkan doktrin-doktrin agama sebagai landasan pemberontakan. Syekh Abdul Karim al-Bantani sendiri tak ikut pemberontakan karena harus kembali ke Mekkah.
Para pemberontak membunuh 17 orang termasuk Gubbels, istrinya, dan dua anak perempuannya; serta tujuh orang luka-luka. Sementara di pihak pemberontak: 30 orang tewas, 11 di antaranya digantung; 13 luka-luka, dan 94 orang dibuang termasuk Haji Makid. (*/Historia.id)