Menghapus Prostitusi di Cilegon yang Kian Meresahkan, Mungkinkah?
Oleh; Ilung (Sang Revolusioner)
PERSOALAN prostitusi di Kota Cilegon yang seakan tidak pernah selesai dan adanya jalan keluar dari Pemerintah Kota Cilegon sebagai pemegang otoritas. Bahkan maraknya para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang masih mangkal atau beroperasi di bulan suci Ramadhan dirasa cukup meresahkan masyarakat Cilegon yang mayoritas beragama Islam dan sedang menajalankan Ibadah puasa.
Dunia hitam prostitusi atau pelacuran memang sudah ada sejak berabad-abad silam, dari zaman kolonial Belanda bahkan zaman para Nabi. Akan tetapi bukan berarti praktik kotor ini di Cilegon dibiarkan begitu saja karena memang diharamkan Agama dan dilarang oleh Negara kita.
Kalau tidak salah, pernah ada yang berkata: “Mending kuatkan saja Iman Islam kita, nanti juga kalau tidak laku mah para pelacur itu berhenti sendiri.” ungkapan yang sangat bagus, namun kalau melihat konteksnya saya kira kurang realistis dan merupakan sebuah solusi yang kurang berimbang. Realistis dalam arti karena keimanan manusia itu sangat relatif, bisa naik turun apalagi manusia yang tinggal di Kota Industri Cilegon. Dan kalau PSK itu berhenti sendiri karena tidak laku, lalu faktor ekonomi yang melatar belakangi praktik para PSK itu siapa yang memberi solusi? Opsi solusinya diulas di akhir tulisan ini.
*Sejarah Prostitusi di Cilegon*
Bila kita mau berkaca pada histori ‘dunia hitam’ praktik prostitusi di Cilegon pada saat masih bergabung dengan Kabupaten Serang, sepertinya tidak begitu santer terdengar keluhan atau keresahan masyarakat Cilegon seperti halnya sejak Cilegon memisahkan diri 18 tahun silam hingga sekarang ini. Apakah karena dulu praktik prostitusi di Cilegon hanya terkonsentrasi pada satu titik lokalisasi saja yakni Sangkanila, di Merak? Yang bedanya kalau sekarang yang penyebarannya meluas pada banyak titik, dari mulai kontrakan/bedeng, hotel hiburan malam, bahkan sampai bebas menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan.
Sejak ditetapkannya dan disahkannya UU No. 15 tahun 1999 tanggal 27 April 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon. Pasca pisah dari Kabupaten Serang, kebijakan penguasa Cilegon diawal-awal dulu begitu ‘heroic’, membongkar paksa lokalisasi Sangkanila, dan tidak memberi solusi profesi baru bagi para PSK yang berada disana. Maka wajar kalau setelah itu sampai belakangan ini justru kebijakan membongkar Sangkanila itu dianggap sebagai penyebab dari menyebar luasnya titik-titik praktik prostitusi di Kota Cilegon.
“Ibarat mbongkar umah tawon, tawone jadi buyar, nyebar.” Begitulah istilah yang saya sering dengar dari pojok-pojok Kota Cilegon.
Terlebih setelah aksi ‘mbongkar rumah tawon’ yang dilakukan oleh Pemkot Cilegon hampir setahun yang lalu di kawasan Kecamatan Grogol, dan lagi-lagi tidak diiringi program pembinaan para Tawon/ PSK agar tidak kembali ke lembah maksiat, sehingga para PSK itupun menyebar di pinggir-pinggir jalan dari Tikungan Merak, di depan Hotel-hotel dan losment sampai di luar pagar Pelabuhan ASDP di Kecamatan Pulomerak.
Jangankan untuk memanusiakan para PSK disana untuk kembali menjadi manusia. Warga biasa yang ikut terkena gusuran Pemkot yang terlihat kurang jelas peruntukannya itu saja konon sampai sekarang belum diberi ganti rugi.
*Melihat Praktik Prostitusi di Cilegon*
Dalam beberapa pekan terakhir ini tercatat praktik
prostitusi atau lokasi pangkalan para PSK di Kota Cilegon cukup banyak dan meluas, dari yang di pusat Kota, di daerah pinggiran seperti gerbang Timur JLS (Jalan Lingkar Selatan), Ciwandan dan Pulomerak.
Seperti diketahui, begitu banyak tempat hiburan malam yang beroperasi di pusat Kota Cilegon. yang dari sisi pendidikan hal ini tentu saja tidak baik bagi anak-anak dan remaja sebagai generasi muda Cilegon, karena lingkungan secara kognitif dan afektif bisa mempengaruhi prilakunya.
Walau praktik prostitusi tidak dilakukan di tempat hiburan malam, namun di hotel yang satu manajemen dengan hiburan malam itu atau hotel yang berada di sekitarnya bisa dijadikan tempat untuk booking para wanita penghibur yang bekerja disana. Bahkan bisa juga melakukan praktik seks di kontrakan si wanita setelah puas minum, joged atau karaoke di tempat hiburan malam.
Selain di tempat hiburan malam, di pusat kota juga banyak PSK yang dengan vulgar mangkal di pinggir-pinggir jalan, biasanya di Taman Kota Al-Hadid sampai kawasan di belakang Pemkot Cilegon, dan kadang di kawasan KM dekat eks sekolah Mardiyuana.
Di gerbang Timur JLS, ada beberapa tempat hiburan malam yang masuk wilayah Kota Cilegon, selain bekerja melayani dan menemani pengunjung. Banyak diantaranya yang bisa dibooking. Bahkan beberapa diantaranya ada yang merayu pengunjung yang berada di luar tempat hiburan.
Di kawasan Ciwandan yang kabarnya baru dirazia oleh Pemkot dan membawa para PSK-nya, dan Pulomerak, seakan tidak asing ditelinga kita kalau di kawasan ini memang sejak dulu (ada Sangkanila) sudah dikenal dengan dunia prostitusinya.
*Faktor yang Melatarbelakangi Para PSK*
Faktor ekonomi seakan menjadi alasan klasik yang sering kita dengar. Tidak bisa dipungkiri memang, nyatanya bagi sebagian dari mereka hal itu benar adanya walau faktor lain seperti hedonisme ingin kesenangan hura-hura atau kemewahan, kegagalan rumah tangga/ saat pacaran serta pengahayatan agama yang lemah juga sangat signifikan menjadi faktor yang melatarbelakangi prilaku para PSK ini.
Dari hasil penelitian, kebanyakan wanita penghibur khususnya yang bekerja di tempat hiburan malam, faktor dominannya saya anggap lebih cenderung pada hedonisme atau mencari kesenangan walaupun faktor-faktor lainnya juga mempengaruhinya. Hal ini didasari karena mereka selain sudah mendapat bayaran dari tempatnya bekerja, dalam bekerja yang penuh kesenangan duniawi, minum, joged, karaoke dapat saweran atau uang tips dari para tamu, namun masih bisa dibooking. Apalagi hal ini bisa diamati dari gaya hidupnya, semisal perabot atau fasilitas di kontrakannya, sampai pengakuan tukang Ojek antar jemputnya yang mengaku betah karena dibayar bisa diatas tarif normal.
Faktor ekonomi sepertinya lebih relevan pada para PSK yang mangkal di pinggir-pinggir jalan itu, seperti pengakuan salah satu PSK yang mangkal di tikungan Merak, ia terpaksa menjadi PSK untuk memenuhi kebutuhan bahkan untuk bisa bertahan hidup. Dan mirisnya janda anak satu ini menjadi PSK justru setelah rumahnya di kawasan Statomer digusur oleh Pemkot Cilegon tanpa menerima ganti rugi. Dari uang hasil ‘menjual diri’nya itu untuk membayar kontrakan yang harus dibayar setiap bulannya. Walaupun faktor keluarga (tidak ada suami) bisa mempengaruhinya.
*Solusi Para PSK di Cilegon*
Jujur, secara pribadi saya tidak setuju adanya prostitusi di Kota Santri yang diubah Kota Industri dan kini Smart City ini. Namun kalau memang sebuah konsekuensi sebagai kota Industri dimana prostitusi menjadi komoditas bagi kalangan tertentu. Tapi mbok ya ditata sedemikian rupa agar supaya kalangan tertentu saja yang bisa mengakses, dilokalisir, misalnya.
Tapi wacana kebijakan melokalisir tempat hiburan dari Pemkot Cilegon sejak beberapa tahun silam sepertinya menguap begitu saja belum terdengar lagi gaungnya.
Terlepas titik lokasi yang tepat dimana, tapi kebijakan lokalisasi Hiburan Malam dan praktik PSK ini dianggap banyak pihak sebagai solusi dari permasalahan prostitusi di Kota Cilegon.
Namun, hal itu merupakan hajat komoditas kalangan tertentu yang hanya segelintir kepentingan. Dan biasanya Walikota Cilegon kurang begitu perhatian sama aspirasi segelintir rakyatnya, sebagaiamana penolakan JLU.
Prostitusi di satu sisi pada hakikatnya menurunkan derajat perempuan dan melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan. Kegiatan prostitusi dianggap immoral karena menjadikan perempuan sebagai objek seksual laki-laki, dan perempuan dieksploitasi untuk melayani kebutuhan orang lain. Di sisi lain, pekerja prostitusi tidak dianggap sebagai seorang korban sehingga kegiatan prostitusi dilazimkan dengan dalih: kepentingan ekonomi.
Dibeberapa Negara, menganggap relokasi atau legalisasi prostitusi adalah salah satu penyelesaian dari masalah pengeksploitasian perempuan dan anak-anak melalui kekerasan dan human trafficking. Negara-negara tersebut di antaranya adalah Belanda, Jerman, Senegal dan Australia. Menurut data US Department of State, Country Reports of Human Rights Practice, 58,7 persen negara di dunia menolak legalisasi lokalisasi prostitusi, 35,9 persen melegalkan prostitusi tetapi menolak keberadaan lokalisasi, dan hanya 5,39 persen yang secara penuh melegalkan prostitusi.
Selain memenuhi komoditas kalangan tertentu, apakah benar legalisasi lokalisasi sebagai solusi dari human trafficking dan mempunyai potensi ekonomi, sehingga enggan merelokasi hiburan malam dan prostitusi di Cilegon ke daerah lain?
Entahlah, dan sebagai solusinya, setidaknya ada lima jalur berikut semestinya ditempuh untuk mengatasi maraknya prostitusi di Kota Cilegon. Yang mudah-mudahan jika dilaksanakan oleh Pemkot Cilegon secara simultan, bukan hanya salah satu dan sepotong-sepotong maka semua faktor yang mendorong terjadinya prostitusi bisa dieliminasi bahkan dihilangkan.
Kita tentu menyadari bahwa tindak asusila bisa kapan saja terjadi, namun kemaksiatan itu tidak terjadi secara marak kalau pintu-pintunya telah ditutup rapat.
Pertama, penyediaan lapangan kerja. Penyediaan lapangan pekerjaan berarti adanya kemudahan masyarakat Cilegon untuk pekerjaan yang layak dan mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarga yang ada dalam tanggungannya. Pemkot Cilegon mendata para PSK yang ada di Cilegon kemudian dibina dilatih keterampilan atau skill serta memberi kemudahan permodalan stimulan atau pinjaman tanpa bunga. Iklim usaha kondusif juga diperlukan.
Melihat kota kecil Cilegon dengan ratusan perusahaan raksasa namun lapangan kerja terbatas, ini juga harus di evaluasi oleh Pemkot.
Termasuk hal kearifan lokal dimana perempuan semestinya tidak menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya.
Kedua, pendidikan/edukasi yang sejalan. Pendidikan juga menanamkan nilai dasar tentang benar dan salah serta standar-standar hidup yang boleh diambil dan tidak. Alasan PSK yang kembali ke tempat prostitusi setelah mendapat pembinaan keterampilan karena lebih sulit mendapat uang dari hasil menjahit dibanding melacur tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang standar benar dan salah.
Ketiga, jalur sosial.
Pembinaan masyarakat untuk membentuk keluarga yang harmonis merupakan penyelesaian jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian Pemkot Cilegon. Bila keluarga harmonis maka tidak banyak laki-laki yang membutuhkan untuk mencari kesenangan ke tempat pelacuran atau ingin mendapat kasih sayang dengan mengencani PSK.
Keempat, penegakan hukum/sanksi tegas kepada semua pelaku prostitusi/zina. Tidak hanya mucikari atau germonya. PSK dan pemakai jasanya yang merupakan subyek dalam lingkaran prostitusi harus dikenai sanksi tegas. Terlebih dalam Islam Hukuman di dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu) jika ia pernah menikah, atau dicambuk seratus kali jika ia belum pernah menikah lalu diasingkan selama satu tahun. Jika di dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka akan dibalas di akhirat.
Kalau memang Muslim mayoritas di Cilegon, apa salahnya penyelesaian prostitusi membutuhkan diterapkannya kebijakan yang didasari syariat Islam?
Saya kira perlu dibuat Perda yang tegas mengatur sanksi kepada semua pihak sampai keharaman bisnis apapun yang terkait pelacuran.
Terakhir atau yang kelima lewat jalur politik. Penyelesaian prostitusi membutuhkan diterapkannya kebijakan yang didasari kuat dari pemimpinnya.Mungkin dalam hal ini Walikota Cilegon perlu belajar kepada Walikota Surabaya yang berhasil menutup lokalisasi terbesar se Asia Tenggara Dolly, dari mulai survei langsung sang Walikota, melakukan pertimbangan dan kajian dengan melibatkan dinas-dinas aparatur keamanan dan tokoh agama yang kemudian mengambil kebijakan arif yang akhirnya berhasil menutup Dolly.
Walikota Cilegon saat ini yang merupakan lulusan pondok pesantren ini tentunya mungkin sudah lebih paham hukum agama tentang praktik prostitusi ini, namun memang harus mempunyai good will dan good politic dari sang pemimpin daerah untuk memungkinkan bisa menutup semua tempat hiburan malam dan praktik prostitusi di Kota Cilegon yang kita cintai ini. (*)
*Penulis adalah jurnalis Fakta Banten Online