Loading...

Pernyataan Direksi Krakatau Posco Soal “Japrem” Penjualan Baja Dibenarkan oleh Sejumlah Saksi

IP UBP Suralaya HUT Cilegon

CILEGON – Polemik soal dugaan statement ‘Jatah Preman’ dalam penjualan baja oleh Direktur HR & GA PT Krakatau Posco Dicky Mardiana, sepertinya belum ada titik terang dalam waktu dekat.

Pasalnya, Dicky Mardiana pada 18 Maret 2025 lalu tidak memenuhi undangan klarifikasi dari pihak Intelkam Polres Cilegon dan meminta penundaan sampai dengan habis lebaran.

Namun demikian, sejumlah saksi yang mengaku mendengar pernyataan Direktur PT Krakatau Posco itu mendatangi Polres Cilegon pada Kamis 20 Maret 2025.

Sejumlah saksi yang memberikan keterangan klarifikasi ke Polres Cilegon antara lain Sekretaris Jenderal PB Al-Khairiyah, Ahmad Munji; Ichwan Bachit; dan Trias Sundoro.

Kepada polisi, para saksi itu membenarkan adanya pernyataan Dicky Mardiana yang mengungkapkan ada Jatah Preman alias Japrem, yakni sebesar 20 USD per MT dikalikan 500.000 MT per tahun kepada Bos PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dari kuota penjualan lokal baja PT Krakatau Posco melalui PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Ichwan, salah seorang saksi, membeberkan kronologis awal mula dirinya mengikuti pertemuan dengan Dicky Mardiana yang saat itu mengeluarkan pernyataan soal Japrem tersebut.

Pertemuan itu pada tanggal 28 Mei 2024, dimana bermula dari tiga orang yakni Ahmad Munji, Ichwan Bachit, dan Trias Sundoro, yang dipanggil untuk menghadap Ketua Umum Pengurus Besar Al-Khairiyah Ali Mujahidin, dan bertemu di ruang Rapat Pimpinan PB Al-Khairiyah Citangkil.

“Di ruangan itu, awalnya kami berdiskusi berempat dengan Ketua Umum terkait Al-Khairiyah, beberapa rencana program hasil-hasil rapat sebelumnya dan terakhir setelah selesai membahas Al-Khairiyah. Setelah selesai diskusi kami ngobrol-ngobrol tentang kondisi PT Krakatau Steel yang menurut Ketua Umum Al-Khairiyah situasi dan kondisinya sangat memperihatinkan saat ini. Ketua Umum menceritakan keprihatinannya melihat kondisi KRAS saat ini karena mengingat betapa besarnya pengorbanan pendiri Al-Khairiyah serta masyarakat Cilegon dan Banten dahulu yang rela lahannya, budayanya masyarakatnya tergusur oleh dampak berdirinya pabrik baja eks Trikora menjadi KRAS karena pertimbangan demi kemajuan masa depan perekonomian dan kesejahteraan bangsa dan negara,” ungkap Ichwan, seraya bercerita momen tersebut.

“Diskusi kami saat itu sempat terpotong karena staf Ketum yang masuk ke ruangan menyampaikan bahwa ada tamu dari Krakatau Posco yaitu Pak Dicky Mardiana yang hendak menemui Ketua Umum PB Al-Khairiyah. Kemudian Pak Dicky Mardiana dipersilahkan masuk ruangan dan saat kami hendak izin keluar ruangan, Ketua Umum melarang dan menyampaikan bahwa kehadiran Pak Dicky Mardiana untuk silaturahmi dan mengobrol biasa saja serta tidak ada yang rahasia, sehingga kami tidak beranjak karena diajak tetap ngobrol bareng santai sambil ngopi-ngopi,” ungkap Ichwan lagi.

Jadi pada momen tersebut, berlangsung obrolan santai tentang kondisi industri baja Krakatau Steel dan Krakatau Posco, antara Ketua Umum PB Al-Khairiyah bersama tiga orang saksi dan Direktur PT Krakatau Posco Dicky Mardiana.

Di dalam diskusi dan obrolan tersebut, Ketua Umum PB Al-Khairiyah Haji Mumu bertanya kepada Dicky Mardiana tentang kontribusi keuntungan yang selama ini tidak pernah diberikan PT Krakatau Posco kepada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk selaku pemegang saham.

“Pak Dicky, KRAS Indonesia dan POSCO Korea kan kerjasama Joint Venture sudah puluhan tahun, bahkan saham KRAS sebagai perusahaan milik negara BUMN yang  mewakili bangsa dan negara kita yang bahkan hingga saat ini sudah saham KRAS sendiri mencapai 50%. Lalu kenapa infonya sejak awal KRAS tidak pernah mendapatkan deviden keuntungan bagi hasil dari kepemilikan sahamnya di Krakatau Posco?” ungkap Ichwan menirukan pertanyaan Haji Mumu di momen itu.

Menurut Ichwan sebagai saksi, yang menarik adalah jawaban atas pertanyaan Haji Mumu tersebut, yang direspon langsung oleh Dicky Mardiana selaku Direktur PT Krakatau Posco.

“Saat itu Pak Dicky Mardiana jelas menjawab dan menyatakan begini, ‘Kata siapa? Itu kan ada Jatah Preman (Japrem-red) sebesar 20 US Dollar per MT dikalikan saja 500.000 MT per tahun kepada Bos KS, dari kuota penjualan lokal baja PT Krakatau Posco yang dijual oleh KS, ya sekitar Rp 150 Miliar’,” jelas Ichwan menirukan Dicky Mardiana yang menjawab pertanyaan Haji Mumu saat itu.

Atas jawaban Dicky Mardiana saat itu, menurut Ichwan, Haji Mumu sempat tidak percaya dan mengklarifikasi ulang pernyataan tersebut.

“Ah Pak Dicky yang bener dong, masa iya Bos KS berani ambil Jatah Preman? Tega amat Pak Dicky ngomong begitu, bukannya Pak Dicky sampai sekarang bisa menjadi Direktur di Krakatau Posco itu karena wasilah (perantara) jadi pegawai KS dulunya kan? Masa iya harus nuduh pakai kalimat Jatah Preman segala?” tutur Haji Mumu, sebagaimana ditirukan saksi, Ichwan.

Mendengar keraguan dari Haji Mumu, saat itu Dicky Mardiana malah mengulang dan menegaskan kembali pernyataannya soal Japrem Penjualan Baja tersebut.

“Iya bener, memang ada Jatah Preman,” ungkap Ichwan menjelaskan kronologis pertemuan itu secara detail.

Mendapatkan pernyataan dari Dicky Mardiana, dijelaskan Ichwan, saat itu Ketua Umum PB Al-Khairiyah langsung tidak tinggal diam.

Haji Mumu menyampaikan izin kepada Dicky Mardiana untuk melakukan crosschek mengkonfirmasi ucapannya dengan langsung menghubungi Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel saat itu yang dijabat oleh Muhamad Akbar Djohan (saat ini Dirut KRAS).

“Meskipun sekilas dan samar komunikasi Ketua Umum dengan Pak Akbar Djohan saat itu, namun karena posisi duduk kami sangat dekat dengan Ketua Umum kami mendengar percakapan itu dengan Pak Akbar Djohan yang intinya Ketua Umum mengkonfirmasi, ‘Apakah benar direktorat Pak Akbar mengelola baja 500.000 MT Per/tahun untuk penjualan baja lokal, dan pada saat itu terkonfirmasi bahwa Akbar Djohan intinya menyampaikan benar adanya,” jelas Ichwan lagi.

Setelah menutup ponselnya usai berkomunikasi dengan Akbar Djohan, menurut Ichwan Haji Mumu saat itu kembali mengingatkan dan menasihati Dicky Mardiana agar meralat ucapannya untuk tidak menggunakan istilah ‘Jatah Preman’.

Akan tetapi menurut Ichwan, lagi-lagi Dicky Mardiana saat itu tetap menegaskan ucapan dan pernyataan, “Iya beneran, ada Jatah Preman (Japrem) sebesar 20 USD Per MT dikalikan 500.000 MT Per tahun kepada Bos KS,” ungkap Ichwan lagi.

Saksi lainnya, Ahmad Munji mengaku bahwa pihaknya telah menjelaskan secara terang benderang apa yang terjadi pada pertemuan tersebut kepada pihak Polres Cilegon.

Pertemuan yang berkaitan dengan Dicky Mardiana yang melontarkan pertanyaan ‘Japrem Penjualan Baja Krakatau Posco’.

“Kami sampaikan kepada pihak Polres Cilegon bahwa atas apa yang telah nyata kami saksikan, kami lihat, kami dengar dan tidak ada keraguan atas klarifikasi dan keterangan kami sebagai saksi bersedia sungguh-sungguh dapat mempertanggungjawabkannya di kemudian hari apabila diperlukan,” tegas Munji.

“Kami juga masih menyimpan lengkap dokumentasi foto pertemuan kami berlima bersama saudara Dicky Mardiana dimaksud, jika dipandang perlu untuk dipergunakan di kemudian hari sebagai alat bantu bukti atau lainnya,” imbuh Munji.

Sementara, pihak Polres Cilegon sendiri hingga saat ini belum bersedia dikonfirmasi terkait upaya polisi yang ikut mengusut pernyataan Direktur PT Krakatau Posco, yang dinilai berpotensi mengarah kepada dugaan gratifikasi di tubuh BUMN Baja PT Krakatau Steel tersebut. (*/Ika)

WhatsApp us
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien