PR Calon Walikota Cilegon, Tertibkan Bedengan Merangkap Tempat Prostitusi Online
CILEGON – Seiring makin pesatnya dunia industri yang membuat banyak pula orang luar daerah yang berdatangan untuk mencari nafkah dan mengadu nasib ke Kota Cilegon, sehingga makin tumbuh suburlah usaha kontrakan atau bedengan di kota industri tersebut sejak satu dekade terakhir.
Dan seiring dengan makin pesatnya teknologi komunikasi, tidak sedikit bedengan yang sengaja dijadikan tempat untuk praktek prostitusi terselubung oleh penghuninya.
“Saya heran sama yang punya kontrakan itu, bedengnya bisa bebas ditempati untuk kelonan, tapi diam saja, dia gak tahu apa pura-pura gak tahu ya? Ya sekarang mah bisa janjian lewat internet kang, orang luar bisa datang,” ungkap warga Cilegon, Udin kepada Fakta Banten.
Saat coba melakukan penelusuran melalui jejaring sosial Michat, benar saja. Wartawan mendapati akun bernama @Dewi (nama samaran) yang memanfaatkan bedengnya yang berlokasi di belakang (tegal) lingkungan Jerang Barat, Kelurahan Karang Asem untuk pijat dan praktek prostitusi.
Wanita yang dalam foto-fotonya tampak putih montok ini, bahkan tidak canggung mengundang tamu laki-lakinya datang ke kontrakannya dengan mengirimkan share lokasi dirinya berada, untuk sekadar pijat maupun melampiaskan hasrat seks. Hal itu tentunya setelah adanya kesepakatan soal tarif dalam percakapan di aplikasi Michat.
“Kalau pijat aja Rp. 200 ribu, plus ngocok Rp. 350 ribu. Nge*e mah mahal Rp. 750 ribu bang. Kalau mau saya kirim sharelok, jangan PHP ya. Kalau pengen enak ke sininya pagi bang, kontrakan dan warga sekitar sepi,” ujarnya.
Untuk membuktikan kebenaran hal itu, tanpa sepengetahuannya, wartawan coba melihat keberadaan dan situasi di bedengan yang dimaksud. Dari pantauan di warung yang tidak jauh dari lokasi, benar saja terdapat bedengan yang berada di belakang pemukiman warga Link. Jerang Barat. Beberapa penghuninya perempuan yang tampak berpakaian seksi.
Begitu juga dengan akun @Neng Nurul (nama samaran) yang secara terang-terangan menawarkan jasa seks atau Boking Online yang lebih akrab disebut BO di akun Michatnya. Setelah sepakat soal tarif yang ditawarkan sebesar Rp. 250 ribu, ia menunjukan lokasi bedengnya yang berlokasi di kawasan Kavling Blok C.
“Tempatnya di bedeng yang deket Baso Yayu Gemi itu bang, deket dari jalan kok, nanti kalau sudah di rel chat lagi aja, ditunggu ya maksimal jam 2 malam,” katanya.
Dan karena hingga pagi tak kunjung didatangi, besoknya ia pun kemudian marah dan memblokir pertemanan di Michat.
“Dasar PHP, sorry ya saya blok,” ujarnya ketus.
Dari dua lokasi yang terungkap tersebut, bisa jadi masih banyak bedengan di tempat lain di Cilegon yang sejatinya untuk tempat tinggal sementara, justru disalah gunakan untuk praktek prostitusi terselubung.
Menyikapi persoalan sosial yang masih terus menjalar ini, pengamat sosial Kota Cilegon, Samsuri saat dimintai tanggapannya mengatakan fenomena tersebut terjadi lemahnya regulasi yang mangatur bedengan serta lemahnya pengawasan oleh warga dan pihak pemerintah.
“Setiap kemajuan pasti ada resikonya, dari meledaknya populasi penduduk hingga prostitusi. Karena di kontrakan cost nya tentu lebih murah dari hotel, maka dipilihlah kontrakan yang secara aturan relatif bebas oleh oknum pelakunya. Di sisi lain pengawasan dari warga makin melemah, karena secara psikologis ia ikut apatis karena arus globalisasi,” ungkapnya, Jum’at (3/7/2020).
“Warga juga kadang dibenturkan rasa tidak enak, kenal sama si pemilik bedeng, misalnya. Sedangkan si pemilik sendiri mungkin tidak mau tahu dan tidak menerapkan tata tertib karena asal kontrakannya ramai saja. Sementara pemerintah saya menilai dengan kewenangannya hanya sesekali saja melakukan razia yustisi, setahun bisa dihitung jarilah,” imbuhnya.
Selain itu, saat dimintai apa dan bagaimana solusi untuk menangkal atau setidaknya mengurangi pemanfaatan bedengan untuk praktek prostitusi, ia berharap warga lebih peka dan peduli terhadap lingkungan tempat ia tinggal dengan melaporkan ke Ketua RT setempat. Dan secara kontekstual pemerintah membuat sebuah terobosan regulasi khusus untuk pemilik kontrakan.
Menurutnya, ini juga bisa jadi PR bagi para kandidat Walikota- Wakil Walikota yang mengikuti kontestasi politik pada Pilkada Cilegon yang rencananya digelar pada 9 Desember 2020.
“Jangan cuma buat aturan yang 10 pintu kena pajak aja dong, itu matre namanya. Sebenarnya bukan prostitusi saja bahayanya bagi generasi bangsa, kasus narkoba dan tindak kriminal lainnya juga sangat berpotensi terjadi di bedengan kalau pemiliknya tahunya asal dihuni, dapat uang saja,” jelasnya.
“Selain harus lebih intensif melakukan razia di bedengan, Pemkot Cilegon harusnya membuat regulasi. Misalnya oleh lurah, pemilik bedeng diberikan semacam tata tertib atau aturan berpayung hukum. Jadi setiap penghuni bedengan tidak hanya diminta KTP di awal saja. Tapi wajib lapor ke RT setempat, siap mentaati batas jam tamu serta norma adat yang berlaku dan ada sanksi tegas,” tandasnya. (*/Ilung)