Refleksi Muktamar Al-Khairiyah ke-X, Pengamat Ingatkan Generasi Blank Hantui Masa Depan
CILEGON – Al-Khairiyah sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki peran strategis untuk menghadapi degradasi moral dan kemunduran berfikir, sesuai dengan tujuan Al-Khairiyah untuk terus semangat mengabdi mengembangkan pendidikan dan da’wah islamiyah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil dan patriotik menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits.
Sebagai salah satu organisasi dan lembaga pendidikan yang sudah hampir satu abad berkiprah, Al-Khairiyah terus memberikan kontribusi dan partisipasi positif dalam membangun sumber daya manusia yang unggul di era disrupsi dan diambang degradasi moral ini.
Tentunya Al-Khairiyah dengan porsi tersebut mempunyai tugas yang berat dan pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk dikerjakan terlebih dalam keadaan yang terus berubah, menjadikan Muktamar pada kali ini tidak hanya sebagai seremonial saja akan tetapi ada hal yang sangat besar dampaknya untuk ke depan yaitu membenahi generasi blank yang siap menghantui masa depan.
Hal tersebut diungkapkan pemerhati sosial yang juga Dosen Al-Khairiyah Achmad Juhaini dalam melihat keprihatinan generasi pada saat ini, Juhen dengan sapaan akrabnya menganggap generasi blank bukan hanya mengancam pada saat pandemi saja, akan tetapi bisa mengakar jika tidak segera dibenahi.
“Generasi blank itu adalah generasi yang telat dengan segala hal, telatnya secara sistematis, ironis melihatnya. Satu contoh takala negara barat yang dulu mencontoh negara timur terkait pendidikan kita, kita tidak bisa praktik ke arah sana, orang orang barat sudah mengajarkan tentang pembelajaran dimana anak diarahkan ke kemampuan analisis tinggi atau HOTS dari sejak dasar, sehingga secara mental terbentuk dalam menghadapi setiap perubahan dan berorientasi visioner,” kata Achmad Juhaini kepada Fakta Banten, Kamis, (21/10/2021).
Menurut Juhen yang terjadi saat ini dilingkungan pendidikan di Indonesia khususnya di Banten, fikiran nalar kritis yang dijadikan hukuman adalah adab, sehingga pikiran pikiran yang baik dan kritis dianggap tidak bagus, yang terjadi adalah orang orang tidak menghargai pemikiran tersebut sedangkan yang ada hanyalah tampilan belaka.
“Satu hal yang menjadi ironis sekali yaitu generasi blank yang diharapkan dibonus demografi 2040-2050 adalah orang orang hebat, malah menjadi generasi penikmat dari kemajuan teknologi, padahal itu kemunduran bagi mereka, generasi kita itu mundur 30 tahun, mestinya sepuluh tahun yang akan datang kita tidak hanya menikmati teknologi tapi menciptakan teknologi ramah sumber daya alam,” ujarnya.
Ia menganggap kemudahan teknologi yang disajikan membuat generasi emas menjadi generasi malas yang menginginkan sesuatu dengan cara instan dan mudah didapatkan, terlebih ketika mereka mengutarakan pemikiran kritis tidak dihargai oleh masyarakat, menyampaikan kebenaran dianggap tidak sopan dan diancam, padahal menurutnya pemikiran itu tidak bisa dihukumi, itulah yang terjadi saat ini.
“Kemungkinan 20 tahun yang akan datang adab itu sudah mulai bergeser, jika sekarang adab dimaknai oleh orang orang di generasi 50 sampai 70, bagaimana di 2030 nanti tentunya akan dinilai oleh orang orang 80 yang sudah jengah dengan budaya seperti begitu, sudah siapkan lembaga pendidikan menghadapi gelombang pemikiran semacam itu? Atau mungkin tidak ada pemikiran itu, itulah generasi blank,” katanya.
Lebih jelas ia menuturkan saat ini pendidikan masih dikuasai oleh generasi 70 ke bawah yang melakukan pembelajaran deduktif induktif yang hanya fokus pelajaran yang sama sehingga yang mereka aplikasikan adalah kekuasaan tidak lagi bicara regenerasi.
“Jika anak anak sekarang tidak diberikan panggung kepercayaan melainkan hanya pengetahuan saja maka tidak terbayang 30 tahun yang akan datang, apa yang akan mereka berikan jika menjadi pemimpin ke depan, jika pemikiran dulu dibawa pada kondisi mendatang, akan tertinggal jika fikiran terus terusan dihukumi dengan adab, generasi milenial itu harus di didik untuk mengungkapkan kebenaran, pemikiran itu bukan adab kecuali tingkah laku, nah itu adab,” ujarnya.
Lebih jauh Juhen menuturkan mendukung sikap yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan dalam menambahkan point di taksonomi bloom yaitu C5 dan C6 yang berisikan tentang menganalisis, mengkreasikan dan mengkritik sehingga diharapkan generasi sekarang fikirannya terbuka lebar dalam memandang permasalahan, ia juga sepakat dengan program merdeka belajar yang memberikan kebebasan bagi pelajar untuk mengembangkan minat dan bakat sesuai yang diinginkan.
“Lembaga pendidikan harus inklusif kepada pelajar tanpa mendiskreditkan satu sama lain, harus menerima hegemoni generasi yang ada, pendidikan inklusif itu sudah menjadi slogan,” ungkapnya.
Ia mengungkap seluruh elemen harus menumbuhkan kesadaran dalam mempersiapkan generasi, harus ada gerakan kesadaran nasional, harus sadar menjadi guru, sadar menjadi dosen, sadar menjadi tukang ojek, sadar menjadi apapun yang akan membuat keteraturan dalam bersikap.
“Pendidikan itu hakikatnya membebaskan peserta didik dari ketidaktahuan, kebodohan, kurang baik menjadi baik, itu tidak terlaksana, yang ada saya saya saya, dia gak tau ke depan akan jadi apa, yang penting sekarang, tanpa memikirkan ke depan, semua harus segera tersadar,” pungkasnya. (*/Ihsan)