Rektor Universitas Islam Negeri Banten Tulis Opini Dukung Pendirian Gereja di Kota Cilegon
CILEGON – Kota Cilegon baru-baru ini menjadi pusat perhatian lantaran mencuatnya isu penolakan pendirian gereja oleh masyarakat daerah yang berjuluk kota santri tersebut.
Bahkan pasca adanya gelombang massa yang menyuarakan penolakan atas rencana pendirian gereja, isu soal Kota Cilegon ini menjadi trending di media sosial.
Kini terus bermunculan tayangan video-video YouTube dari Buzzer-buzzer yang aktif menyoroti polemik di Kota Cilegon ini, seperti Ade Armando, Eko Kuntadi, bahkan hingga Jozeph Paul Zhang, pendeta yang sudah menjadi tersangka kasus penistaan agama, juga ikut berkomentar.
Tidak hanya buzzer medsos, sekelas Akademisi yang merupakan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten juga ternyata ikut melempar opini untuk menggiring publik memberi dukungan terhadap pendirian gereja di Cilegon.
Rektor UIN SMH Banten Wawan Wahyudin, 9 September 2022 lalu, membuat tulisan opini yang diterbitkan di website resmi Kementerian Agama RI https://kemenag.go.id dengan judul, “Mengurai Polemik Penolakan Pendirian Gereja di Cilegon”.
Dalam tulisannya, Wawan Wahyudin menguraikan fakta-fakta sejarah tentang penolakan gereja di Cilegon yang sudah terjadi sejak lama. Namun Sang Rektor menilai aspirasi masyarakat mayoritas itu bertentangan dengan hukum.
“Hak beragama merupakan hak yang melekat secara kodrati yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Negara menjamin kebebasan setiap warga negara dalam memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Selain UUD 1945, untuk menjamin hal ini, pemerintah juga telah menerbitkan berbagai aturan. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,” tulis Rektor.
“Jika persyaratan administratif terpenuhi sedangkan persyaratan teknis bangunan belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah,” tulisnya menegaskan.
Sang Rektor juga menyebut peraturan di Kota Cilegon tentang pendirian rumah ibadah, bertentangan dengan undang-undang.
“Surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189 / Huk/ SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975 yang dipegang teguh oleh Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon sangat jelas bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945,” tulisnya.
“Ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM, Oce Madril, M.A., menyebutkan suatu Perda layak dicabut apabila tidak memiliki kesesuaian lagi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Perda juga bisa dicabut jika bersifat SARA,” lanjutnya.
Pada beberapa paragraf tulisannya ini, Rektor UIN tersebut juga tidak segan-segan “menghakimi salah” prosedur dan kebijakan Pemerintah Daerah terhadap pendirian gereja HKBP di Kota Cilegon kali ini.
Seperti pada paragraf ini;
“Tindakan yang dilakukan Lurah Gerem, Rahmadi yang tidak berkenan memberikan validasi atau pengesahan 70 dukungan warga dengan alasan tidak jelas hingga tindakan jajaran Pemkot Cilegon yang turut menandatangani petisi penolakan pembangunan gereja di Cilegon merupakan tindakan melawan hukum,”
“…. Polemik izin untuk Pendirian Gereja di tengah Masyarakat Cilegon yang terus terhambat karena merujuk pada Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 sudah semestinya disudahi,” tulisnya.
Penghakiman cukup keras juga bisa dilihat pada kalimat terakhir sekaligus menjadi penutup tulisan opininya tersebut.
“… Penolakan yang dilakukan kaum intoleran di Cilegon hari ini sama sekali jauh dari teladan yang dicontohkan langsung oleh Sultan Banten. Lantas, teladan siapa yang mereka ikuti?” (*/Rizal)