Tak Ada Pelarangan Upacara Mahasiswa di Suralaya Saat HUT RI
CILEGON – Kabar soal pelarangan dan pengusiran sejumlah mahasiswa yang hendak mengibarkan bendera Merah Putih di puncak bukit kembang kuning, Suralaya, Pulomerak, Kota Cilegon, Banten, dipastikan adalah isapan jempol. Berbagai pihak menyayangkan sejumlah pesan terlontar di media sosial soal pelarangan atau pengusiran tersebut, sebagai kabar bohong dan pemutarbalikan fakta.
Eman Sulaiman, Lurah Suralaya menjelaskan, masyarakat Suralaya tidak berkeberatan dengan adanya kegiatan pengibaran bendera Merah Putih di momen perayaan Hari Kemerdekaan yang sakral. Namun, warga Suralaya curiga dengan agenda lain yang dibawa para mahasiswa yang mengaku tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Se-Banten, di luar sekadar upacara atau mengibarkan bendera. Selain tidak memberitahukan agenda rinci pengibaran bendera, mahasiswa pun tak menjalankan protokol kesehatan di saat pandemi covid-19 masih menjadi ancaman.
“Tidak ada pihak keamanan setempat yang melarang kegiatan tersebut, seperti yang beberapa hari ini beredar luas di media sosial dan media online,” ujar Eman kepada wartawan, Rabu (19/8).
Lurah Eman menjelaskan, masyarakat Suralaya sangat terbuka. Namun, hingga dini hari, 17 Agustus 2020, sejumlah mahasiswa yang bermalam dengan tenda di bukit yang popular disebut dengan Bukit Teletubbies tersebut, tidak juga memberikan susunan acara kepada pimpinan warga setempat, juga aparat.
“Hal ini meningkatkan kecurigaan warga sekitar, karena tersiar kabar bahwa mahasiswa, selain upacara bendera akan menggelar aksi teaterikal, demo soal lingkungan,” kata Eman.
Tak Hiraukan Protokol Kesehatan
Aksi demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa, ucap Eman, juga terkesan memprovokasi masyarakat yang tidak pernah menolak pembangunan PLTU Jawa Unit 9-10, karena termasuk proyek strategis pemerintah.
“Mereka (mahasiswa dan aktivis yang mengadakan aksi.red) itu masyarakat di luar dan jauh dari Suralaya. Jadi nggak usah menjadi pahlawan dan mengkampanyekan soal lingkungan kalau ujungnya hanya dimanfaatkan kelompok tertentu. Kami meyakini pembangunan PLTU 9-10, justru akan menciptakan lapangan kerja terutama masyarakat Suralaya, sehingga secara perekonomian akan membaik,” jelas Eman.
Kapolsek Pulomerak AKP Rifki Seftirian di kesempatan berbeda memastikan, tidak ada penolakan atau pengusiran dari aparat kepada Gabungan Mahasiswa Pencinta Alam se-Banten yang hendak mengibarkan bendera raksasa berukuran 16×10 di Bukit Teletubbies, Kelurahan Suralaya.
“Tidak ada aparat yang mengusir, tidak ada aparat di situ baik kepolisian dari Polres Cilegon dan Polsek Pulomerak yang mengusir,” cetusnya.
Rifki justru menyayangan kegiatan para mahasiswa yang tidak sesuai dengan perizinan yang disampaikan. Ia menyebutkan, dalam perizinan yang disampaikan ke pihak kepolisian, mahasiswa hanya akan melakukan pengibaran bendera dengan tujuan membangkitkan nasionalisme. Namun, fakta di lapangan, imbuhnya, para mahasiswa ingin melakukan agenda lain di luar yang tertera pada surat perizinannya.
“Jadi yang menolak itu bukan Polisi. Karena warga disekitar situ juga sedang memperingati 17 Agustus-an, jadi warga sedang melaksanakan lomba. Mahasiswa juga tahu yang menolak itu bukan Polisi. Kami sebagai petugas kepolisian akhirnya menyampaikan warga tidak berkenan (dengan aksi demo),” urai Rifki.
Soal tudingan ke warga yang dianggap mengusir, Uki, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Banten (FKMB) mengklarifikasinya. Menurut Uki, masyarakat tidak pernah melarang para mahasiswa beraktivitas di puncak Bukit Kembang Kuning atau Bukit Teletubies.
“Katanya mahasiswa. Harusnya lebih cerdas dalam berperilaku dan berpikirnya, bukan malah memperkeruh suasana. Silahkan para mahasiswa menunjuk masyarakat dari lingkungan mana yang mengusir. Jangan selalu masyarakat di jadikan objek kepentingan pribadi ataupun kelompok,” tuturnya, mengomentari beberapa postingan di media sosial di Banten yang menuding adanya pengusiran mahasiswa oleh aparat sipil dan Polisi.
Uki yang juga masyarakat Suralaya melanjutkan, para mahasiswa tidak akan pernah ditolak keberadaannya, hanya karena ingin mengibarkan bendera Merah Putih di momen perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Buktinya, masyarakat membiarkan para mahasiswa yang membangun tenda dan menginap di lereng hingga puncak bukit.
“Kalau masyarakat menolak, dari awal juga sudah dilakukan. Apalagi sekarang pandemi Corona, Kota Cilegon masih dalam zona kuning,” ungkapnya.
Alih-alih menuding ditolak atau diusir, Uki menilai, seharusnya para mahasiswa bisa berterima kasih kepada masyarakat yang tidak banyak mempermasalahkan ketidakpatuhan para mahasiswa menjalankan protokol kesehatan.
“Mereka datang tidak kita tanya dari mana asal, membawa surat sehat apa tidak, sesuai protokol kesehatan. Mereka tidak mengabaikan protokol kesehatan Tapi kenapa sekarang malah bikin isu yang merugikan masyarakat Suralaya,” tegasnya. (*/Red/Rizal)