CILEGON – Fenomena kekerasan seksual terhadap anak kembali menjadi sorotan di Kota Cilegon.
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Cilegon mencatat adanya peningkatan kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak laki-laki, terutama dalam bentuk sodomi yang dilakukan pelaku sesama jenis.
Kanit PPA Polres Cilegon, IPDA Yuli Meliana, mengungkapkan bahwa korban yang terlibat dalam kasus ini sebagian besar masih berusia remaja.
“Korbannya di bawah umur banyak, berkisar 14-17 tahun, ada juga yang 14-15 tahun itu yang korban sodomi yah, banyak juga,” ujarnya, Senin (13/10/2025).
Menurut Yuli, modus pelaku dalam beberapa kasus terbilang memprihatinkan. Anak-anak korban kerap dijadikan sasaran oleh pelaku yang lebih dewasa maupun oleh teman sebayanya sendiri.
“Kalau laki-laki itu korbannya sodomi, sesama jenis itu,” jelasnya.
Ia menambahkan, tren perilaku menyimpang ini muncul seiring dengan pengaruh media sosial.
Banyak pelaku dan korban terlibat dalam tindakan tersebut setelah terpapar konten di platform digital.
“Jadi dia sesama laki-laki dia lihat di TikTok, jadi dia ke temen-temennya dibilangnya boti atau apa lah itu lagi meningkat, meningkatnya ke sesama jenis itu karena kelainan seksual,” katanya.
Yuli menjelaskan, istilah “boti” yang kini populer di kalangan remaja merujuk pada pelaku hubungan sesama jenis, dan ironisnya, hal ini mulai dianggap seperti hal yang lumrah oleh pergaulan sebagian anak-anak.
Fenomena ini, kata dia, perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, terutama keluarga dan lembaga pendidikan.
Lebih lanjut, Yuli menyebut bahwa sebagian besar kasus tersebut banyak terjadi di wilayah perkotaan.
“Kasusnya banyak terjadi di perkotaan di wilayah Kota Cilegon,” ujarnya.
Menurutnya, lingkungan perkotaan dengan akses teknologi yang luas menjadi faktor pendukung terjadinya penyimpangan tersebut.
Ia menambahkan bahwa anak-anak korban sering kali tidak sadar jika tindakan yang mereka alami merupakan bentuk kekerasan atau perilaku menyimpang.
“Mereka belum tahu sih rata-rata kalau yang anak, tapi mereka tidak menyadari kalau itu kelainan makanya kita koordinasi dengan UPTD untuk psikolognya,” terangnya.
Koordinasi dengan lembaga terkait seperti UPTD dan psikolog dilakukan untuk memberikan pendampingan kepada para korban.
Langkah ini penting agar anak-anak tidak mengalami trauma berkepanjangan dan dapat kembali menjalani kehidupan sosial secara normal.
Selain itu, Yuli juga menyoroti pengaruh negatif dari gawai dan media sosial terhadap perilaku anak-anak.
“Kalau berdasarkan yang kita mintai keterangan sih mereka karena handphone lihat video, ada juga karena homo,” ungkapnya.
Menurut catatan Unit PPA Polres Cilegon, sepanjang tahun 2025 kasus kekerasan seksual terhadap anak masih tinggi.
“Tahun 2025 ini, sampai bulan ini ada 31 kasusnya, dari bulan Januari sampai September, pelakunya ada 36,” beber Yuli.
Jumlah tersebut menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual terhadap anak di Cilegon belum menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
“Kalau kasusnya 32 setahun di tahun 2024, didominasi itu kasus persetubuhan terhadap anak itu pencabulan ada 20,” jelasnya.
Dari data tersebut, mayoritas korban merupakan anak di bawah umur, sementara pelaku didominasi oleh orang dewasa.
“Kalau pelaku itu beragam yah ada yang anak ada yang dewasa, mayoritas dewasa, 18 tahun ke atas. Korbannya rata-rata anak di bawah umur, banyakan perempuan,” ungkapnya.
Meski korban perempuan masih mendominasi, meningkatnya kasus pelecehan terhadap anak laki-laki menunjukkan adanya pola baru yang perlu diwaspadai.
Fenomena “boti” atau perilaku seksual sesama jenis di kalangan remaja laki-laki kini menjadi perhatian serius aparat penegak hukum.(*/ARAS)

