Upah Pekerja di Cilegon Tinggi, Industri Terancam Angkat Kaki ke Jawa Tengah
CILEGON – Kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Cilegon tahun 2025 sebesar 6,5% menjadi Rp 5.128.084,48 menuai berbagai tanggapan dari pelaku usaha dan pengamat lokal.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Pleno Dewan Pengupahan Kota Cilegon pada Kamis (12/12/2024), yang dihadiri pemerintah, asosiasi pengusaha, serikat buruh, dan akademisi.
Sekretaris Dewan Pengupahan Kota Cilegon, Faruk Oktavian, menjelaskan bahwa kenaikan ini sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Kalau dari unsur pemerintah, Pemerintah Kota Cilegon tetap berpedoman kepada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Permenaker RI Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025. Besaran kenaikan 6,5% dari UMK Tahun 2024 atau sebesar Rp 312.981,68 membuat nilai UMK 2025 menjadi Rp 5.128.084,48,” jelasnya.
Namun, pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Cilegon menyatakan kekhawatiran bahwa kenaikan ini akan menjadi beban berat bagi dunia usaha.
Menurut Wakil Ketua Apindo Cilegon, Erwin S. Maila, usulan awal Apindo hanya sebesar 3,4%, mengacu pada PP Nomor 51 Tahun 2023.
“Kami memahami pentingnya kesejahteraan pekerja, tetapi kenaikan 6,5% ini akan memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi. Dalam kondisi tertentu, bahkan dapat berujung pada PHK,” kata Erwin saat diwawancarai Fakta Banten beberapa waktu lalu.
Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua I DPRD Kota Cilegon, Sokhidin, menyoroti tren perpindahan industri padat karya ke daerah lain.
“Memang masuk akal bahwa hari ini industri padat karya sudah banyak beralih ke daerah lain karena ketidakcocokan pengupahan. Bahkan, banyak industri yang pindah ke Kendal, Jawa Tengah, karena biaya upah yang lebih rendah dibandingkan di Cilegon,” ucap Sokhidin.
Sokhidin menambahkan bahwa pengembangan kawasan industri padat karya di Cilegon membutuhkan pendekatan baru.
“Industri padat karya sebenarnya bisa dilakukan dengan cara tripartit, yaitu kesepakatan antara buruh, masyarakat, dan perusahaan. Kesepakatan ini memungkinkan pengupahan di bawah UMK tanpa melanggar aturan. Namun, kita juga harus realistis bahwa tanpa keberadaan padat karya, lahan-lahan industri bisa dimanfaatkan untuk fasilitas umum yang lebih mendukung masyarakat,” imbuhnya.
Memang, berdasarkan penelusuran wartawan Fakta Banten, pada tahun 2022 diketahui ada dua industri padat karya di Kabupaten Serang yaitu PT Nikomas Gemilang dan PT Parkland World Indonesia (PWI) 1 dan 2 di Cikande, kabupaten Serang, pindah ke Kendal, Jawa Tengah karena upah minimum provinsi Banten yang tinggi dan upah minimum kabupaten/kota yang terlalu tinggi. Pasalnya, di jateng, UMP dan UMK lebih rendah di bandingkan di Provinsi Banten.
Sekjen Apindo Cilegon, Najib Hanafi, turut menyoroti dampak kenaikan UMK terhadap iklim investasi.
“UMK naik bukan hanya upah pokok yang naik, tetapi juga biaya lembur, uang makan, transportasi, dan lainnya. Ini akan membebani industri tertentu dan menurunkan daya tarik investasi di Kota Cilegon,” ujar Najib.
Lebih lanjut, Najib menyampaikan kekhawatirannya terkait perusahaan besar yang mulai memindahkan basis produksinya ke daerah dengan UMK lebih rendah, seperti Jawa Tengah.
“Fenomena ini sudah terjadi, dan jika UMK terus naik tanpa pertimbangan produktivitas, akan semakin banyak perusahaan yang keluar dari Cilegon,” tambahnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon, Panca Nugrahestianto Widodo, memastikan bahwa proses penetapan UMK 2025 hampir selesai.
“Saat ini, tahapannya tinggal menunggu SK dari Gubernur Banten untuk pengesahan. Pemerintah Kota Cilegon akan terus memantau dampaknya, baik terhadap kesejahteraan pekerja maupun keberlangsungan dunia usaha,” tutur Panca. (*/Hery)