*) oleh: Bambang Irawan
SEBENARNYA peristiwa sejarah perjuangan terbesar dan terdahsyat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah peristiwa perjuangan rakyat Banten yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 atau yang kemudian dikenal dengan istilah “Geger Cilegon”. Namun karena kurangnya perhatian dari berbagai kalangan yang berkompeten, sehingga jarang orang yang mengetahui akan peristiwa sejarah ini, bahkan mirisnya kalau orang sendiri sampai tidak mengetahui sejarah daerahnya.
Ironis memang, padahal sejarah Geger Cilegon 1888 adalah satu-satunya kejadian yang memiliki data-data sejarah yang paling lengkap, akurat dan detil dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang ada di Indonesia. Dan peristiwa itu juga merupakan pukulan terberat dan kenangan pahit sepanjang sejarah penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Dimana pada masa itu seluruh jajaran pejabat pemerintahannya (Afdeling Anyer) habis dibantai, termasuk anggota keluarganya. Bahkan jika tidak terjadi sebuah kesalahan teknis di lapangan pada saat dimulainya penyerangan, sudah dapat dipastikan bahwa para pejabat Pemerintahan Kolonial Belanda yang ada di wilayah Keresidenan Banten pun akan mengalami nasib yang sama.
Dan jika itu terjadi maka Banten akan lebih dulu merdeka dibandingkan Kesultanan-kesultanan lainnya yang ada di wilayah Nusantara. Dan seandainya itu terjadi, maka boleh jadi Banten saat ini posisinya sebagaimana seperti Kesultanan Brunei di ujung Utara Pulau Kalimantan.
Sejarah perjuangan rakyat Banten 1888 adalah satu-satunya dan sekaligus merupakan kisah perjuangan bangsa Indonesia yang pertama kali dilakukan secara terorganisir, terencana dan terstruktur serta mempunyai tujuan yang jelas; yaitu mengusir penjajahan dari tanah Banten dan membangun kembali sebuah pemerintahan yang berdaulat di Banten. Namun rupanya manusia hanya punya rencana tapi Tuhan yang menentukan.
Dibalik gagalnya perjuangan yang digagas serta dipimpin oleh para kiyai untuk membangun sebuah pemerintahan di Banten pada waktu itu, ternyata ada hikmah yang lebih besar, yaitu berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti sekarang ini. Andai saja pada masa itu Banten merdeka, maka bisa dipastikan ketika Jepang menyerah kepada sekutu pada tahun 1945 boleh jadi seluruh Kesultanan yang ada di Indonesia juga akan merdeka masing-masing. Karena pada tanggal 9 Juli 1888 Banten tidak sempat merdeka, maka semua kerajaan yang ada di seluruh nusantara, yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda kemudian bergabung dan melebur menjadi NKRI termasuk Banten, sebab pada waktu itu Banten gagal merdeka sendiri.
Keinginan rakyat Banten untuk dapat merdeka dari cengkraman Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu terlahir dari “kerinduan” rakyat Banten untuk memiliki raja-nya sendiri setelah lebih dari setengah abad Kesultanan Banten dihapuskan eksistensinya oleh kekuasaan penjajahan yang dianggap kafir dan tidak sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya sehingga mereka perlu mengadakan perlawanan dan mengangkat pemimpinnya (kepala pemerintahan) yang seiman.
Semangat perlawanan terhadap penjajahan yang dimiliki rakyat Banten ini berawal dari khotbah-khotbahnya Kiyai Haji Abdul Karim dari Tanara yang digelorakan dalam setiap pengajian-pengajian di pesantren-pesantren. Kemudian semangat jihad fisabilillah itu dilanjutkan oleh para murid-muridnya, diantaranya adalah Kiyai Haji Tubagus Ismail, salah seorang pimpinan kelompok pejuang yang pada saat itu kemudian disepakati sebagai calon raja jika perebutan kekuasaan dari Pemerintah Belanda berhasil.
….. “Ia (kiyai haji Tubagus Ismail) telah beberapa kali naik haji, dan dalam perjalanannya ke Makkah itu menambah rasa permusuhan terhadap penguasa kafir, sementara gagasan untuk menghasut rakyat agar memberontak melawan mereka telah menjadi matang. Pada perjalanan naik hajinya yang paling akhir, ia menerangkan rekan-rekan seperjalanannya bahwa menurut para ulama di Makkah, Banten akan mempunyai rajanya sendiri tidak lama setelah pohon-pohon johar ditanam di pinggir-pinggir jalan,”
(Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo – 1984 : 264).
Murid-murid Kiyai Haji Abdul Karim yang terkemuka adalah Haji Singadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lempuyang, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka adalah tokoh-tokoh penting dibalik meletusnya peristiwa Geger Cilegon 1888. Gerakan perjuangan mengusir penjajah Belanda itu semakin solid dan meluas ketika Kiyai Haji Tubagus Ismail menjalin hubungan dan mendapat dukungan dari para kiyai yang ada di Cilegon, salah satu diantaranya adalah Haji Wasyid (Ki Wasyid). Dalam kesempatan itu pula Haji Wasyid disepakati sebagai calon patih, akan tetapi sangat disayangkan ketika terjadi perbedaan pendapat antara Haji Wasyid dengan Haji Marjuki mengenai penentuan waktu penyerangan.
Entah ada kaitannya atau tidak dengan perselisihan yang terjadi antara Haji Wasyid dengan Haji Marjuki mengenai kekalahan yang diderita pada saat dimulainya penyerangan 9 Juli 1888 itu. Namun sudah dapat dipastikan bahwa dengan keberangkatan Haji kaitannya atau tidak dengan perselisihan yang terjadi antara Haji Wasyid dengan Haji Marjuki mengenai kekalahan yang diderita pada saat dimulainya penyerangan 9 Juli 1888 itu.
Namun sudah dapat dipastikan bahwa dengan keberangkatan Haji Marjuki ke Makkah secara mendadak, atau sehari setelah penentuan tanggal penyerangan itu telah berpengaruh besar bagi melemahnya kekuatan pasukan di pihak kelompok pejuang. (*)
*) Penulis adalah Peneliti Sejarah Geger Cilegon 1888.