Akademisi Untirta Soroti Risiko ‘Pil Tidur’ di Balik Program Bang Andra
SERANG — Program Bangun Jalan Desa Sejahtera (Bang Andra) yang dicanangkan Gubernur Banten menuai apresiasi dari kalangan akademisi. Teguh Aris Munandar, akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Ia menilai program ini merupakan langkah strategis yang mampu secara langsung menyentuh denyut nadi perekonomian masyarakat akar rumput melalui peningkatan aksesibilitas desa.
“Pembangunan jalan desa akan berpengaruh besar terhadap pertanian, pariwisata lokal, hingga konektivitas sosial,” ujarnya, Kamis, (20/11/2025).
Teguh menilai alokasi anggaran signifikan dari tingkat provinsi menunjukkan adanya kesadaran terhadap ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa di balik optimisme tersebut terdapat potensi risiko.
Ia menyebut adanya kemungkinan efek menina-bobokan bagi Pemerintah Daerah terutama Pemkab Lebak dan Pandeglang.
Menurut Teguh, secara konsep fungsi utama pemerintah Provinsi dalam pembangunan daerah adalah koordinasi, stimulasi, dan subsidi silang yang bersifat strategis.
“Pembangunan jalan desa sesungguhnya merupakan tanggung jawab yang melekat pada pemerintah daerah tingkat II,” ujarnya.
Ia menilai pengambilalihan peran secara dominan oleh Pemerintah Provinsi dapat menimbulkan sinyal yang membingungkan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Bupati/Walikota dapat merasa bahwa tanggung jawab infrastruktur telah diambil alih, sehingga mengurangi inisiatif mereka untuk mengalokasikan APBD II secara maksimal untuk jalan desa,” ujarnya.
Teguh memperingatkan bahwa kecenderungan ini dapat membuat kepala daerah enggan melakukan inovasi dalam menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun efisiensi belanja.
Mereka, katanya, berpotensi hanya menunggu alokasi dari provinsi pada tahun berikutnya, alih-alih membiayai pembangunan di daerahnya sendiri.
Agar hal tersebut tidak terjadi, Teguh menyarankan agar Gubernur Banten menegaskan kembali posisi program Bangun Jalan Desa Sejahtera.
Ia menyebut program ini harus dipahami sebagai stimulus dan trigger, bukan solusi tunggal.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk diskresi untuk menjawab ketimpangan wilayah berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah serta tingkat kemiskinan ekstrem dan bukan semata-mata faktor politik
Mengakhiri pernyataannya, Teguh menilai program ini sebagai kebijakan progresif, namun keberhasilannya tidak cukup diukur dari panjang jalan yang dibangun.
Ia menekankan bahwa indikator penting lainnya adalah sejauh mana program ini membangkitkan kemandirian, akuntabilitas, dan inisiatif pembangunan dari setiap pemerintah kabupaten/kota di Banten.
“Gubernur harus menjadi motivator, bukan sekadar penyedia utama pembangunan, agar Bupati/Walikota turut berkeringat untuk kesejahteraan masyarakatnya.” tutup Teguh.***

