DPUPR Banten Harapkan Bisa Hindari Kegagalan Bangunan

 

SERANG – Dinas Pekerjaan Umim dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Banten berharap agar pengguna dan penyedia jasa kontruksi dapat menghindari kegagalan bangunan.

Hal itu disampaikan Kepala DPUPR Provinsi Banten, Arlan Marzan usai menggelar Seminar Nasional tentang Kegagalan Bangunan di salah satu Hotel yang ada di Kota Serang, pada Selasa, (28/11/2023).

Seminar tersebut mengundang sebanyak 130 peserta, terdiri 55 orang perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemprov Banten, 26 orang perwakilan OPD Kabupaten/kota, 45 orang perwakilan Asosiasi Profesi/Perusahaan dan 4 narasumber.

Keempat narasumber seminar yang diundang adalah Direktur Keberlanjutan Kontruksi Dirjen Bina Kontruksi Kimron Manik, Kepala Kejati Banten Didik Farkhan Alisyahdi, Plt Inspektur Banten Moch Tranggono dan Kepala Bidang III LPJK Kementerian PUPR, Prof. Agus Taufik Mulyono.

Dalam kesempatan tersebut, Arlan mengatakan, salah satu perubahan mendasar dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999, adalah perihal pengaturan yang lebih spesifik tentang kegagalan bangunan.

Menurutnya, syarat kegagalan bangunan yang termasuk dalam lingkup kegagalan bangunan dalam UU Jasa Konstruksi adalah yang telah diserahkan kepada pengguna jasa, sehingga tidak termasuk pada keruntuhan bangunan sebelum penyerahan akhir hasil tersebut, dibuktikan dengan suatu bukti tertulis sebagaimana diatur dalam kontrak kerja konstruksi.

“Dalam kontrak kerja konstruksi sebagai dasar hukum pelaksanaan jasa konstruksi, ada 2 pihak yang terikat yakni penyedia jasa dan pengguna jasa. Penyedia jasa dianggap dapat bertanggung jawab dalam hal terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena penyelenggaraan jasa konstruksi yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberkelanjutan yang diatur dalam peraturan perundangan,” bebernya.

Adapun pengguna jasa sendiri kata dia, memikul tanggung jawab atas kegagalan bangunan yang terjadi setelah lewatnya jangka waktu pertanggungan penyedia jasa atas kegagalan bangunan.

“Jangka waktu pertanggungan atas kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi yang disesuaikan dengan rencana umur konstruksi. Dalam hal rencana umur konstruksi lebih dari 10 tahun, maka penyedia jasa hanya bertanggung jawab atas kegagalan bangunan paling lama 10 tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan jasa konstruksi,” ungkapnya.

Untuk itu lanjutnya, dinilai sangat penting para pihak untuk dapat mengetahui ruang pengaturan mengenai kegagalan bangunan tersebut.

“Kita semua mengetahui bahwa pelaksanaan jasa konstruksi merupakan suatu hal yang komplek dan melibatkan banyak kepentingan, oleh karenanya dalam hal terjadi suatu kegagalan bangunan diperlukan pihak yang mampu memberikan pandangan secara obyektif dan profesional terkait dengan tanggung jawab atas kegagalan bangunan tersebut,” sambungnya.

Ia menuturkan, guna menentukan penyebab dari suatu kegagalan bangunan dan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan tersebut, Undang-undang menunjuk penilai ahli untuk melakukan fungsi tersebut.

Lebih lanjut Arlan mengatakan, seminar ini merupakan momentum yang baik sekali untuk bersama-sama menelaah, mencermati, pengaturan hal tersebut mengingat pada pelaksanaannya kita seringkali belum sejalan terhadap implementasinya, khususnya ketika Kementrian PUPR telah mengeluarkan peraturan teknis terkait.

“Harapan kami dengan dilaksanakannya kegiatan seminar ini, seluruh peserta akan memiliki persepsi, pengetahuan dan pemahaman yang sama terhadap isu yang berkenaan dengan kegagalan bangunan,” terangnya.

Ia juga berharap, agar dapat mengantisipasi serta menghindari terjadinya kegagalan bangunan, mulai dari sisi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. (Adv)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien