Kasus OTT Kejati Banten Diserahkan ke Kejagung, ICW Soroti Transparansi Penanganan Perkara

JAKARTA-Indonesia Corruption Watch atau ICW menyoroti kasus operasi tangkap tangan (OTT) anggota Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten yang diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah mengungkapkan, minimnya transparansi dalam penanganan perkara korupsi berpotensi membuka ruang terjadinya praktik transaksional antara aparat penegak hukum dengan tersangka yang tengah diperiksa.
Ketertutupan proses penanganan perkara, kata dia, menciptakan kondisi yang rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan.
“Termasuk potensi pemerasan atau kesepakatan tidak sah untuk menghentikan atau melemahkan proses hukum, yang pada akhirnya bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang bersih dan berintegritas,” ujarnya dalam keterangan resmi tertulis, Sabtu (20/12/2025).
Penanganan kasus jaksa korupsi oleh Kejaksaan Agung, lanjutnya, dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi melokalisir kasus.
“Penting untuk dipahami bahwa OTT merupakan langkah awal untuk dapat mengembangkan perkara, yang berpotensi melibatkan aktor lain,” jelasnya.
Dengan adanya OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap jaksa, seharusnya menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung untuk dapat melakukan reformasi internal kelembagaan.
“Alih-alih melakukan perbaikan, langkah Kejaksaan Agung menangani kasus tersebut merupakan bentuk nyata dari tidak adanya komitmen pemberantasan korupsi antar penegak hukum,” kata dia.
Adanya kasus jaksa yang ditangkap, membuktikan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan di internal Kejaksaan tidak berjalan secara baik.
“Padahal, fungsi pengawasan internal penting untuk dilakukan guna memastikan kerja penegakan hukum oleh Kejaksaan dilakukan secara tepat,” jelasnya.
Lebih jauh, ia mempertanyakan pelimpahan perkara korupsi yang melibatkan jaksa ke Kejaksaan Agung. Perkara ini berpotensi mencerminkan lemahnya peran dan keberanian KPK dalam melakukan penindakan korupsi yang melibatkan APH.
Padahal, terdapat putusan MK Nomor 15/PUU-XXIII/2025 yang menguji konstitusionalitas Pasal 8 ayat (5). Putusan ini menegaskan jika personel Kejaksaan tertangkap tangan melakukan tindak pidana, maka proses hukum terhadap yang bersangkutan dapat dilanjutkan tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Jaksa Agung.
“Penegasan ini dimaksudkan untuk menutup ruang intervensi struktural dari pimpinan kejaksaan dan memastikan efektivitas penegakan hukum terhadap personel Kejaksaan,” ujarnya.
Dengan adanya putusan tersebut, secara normatif tidak terdapat lagi hambatan hukum bagi KPK untuk menindak aparat penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. ***
