Berikut ini Ayat tentang Mengatur Berhubungan Suami Istri Saat Ramadhan
FAKTA – Allah SWT mengetahui manusia tidak akan kuat menahan hawa nafsunya. Untuk itu, Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberikan keringanan kepada hamba-hamba-Nya di bulan Ramadhan.
Di antara keringanan tersebut, Allah SWT membolehkan umat Islam menggauli istri mereka di malam hari pada rentang waktu setelah berbuka puasa sampai imsak atau waktu memulai puasa.
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah: 187)
Tafsir Kementerian Agama menjelaskan, pada Surah Al-Baqarah ayat 187, Allah menerangkan uzur atau halangan yang membolehkan untuk meninggalkan puasa, serta hukum-hukum yang bertalian dengan puasa.
Banyak riwayat yang menceritakan tentang sebab turunnya ayat ini. Di antaranya pada awal diwajibkan puasa, para sahabat Nabi Muhammad SAW dibolehkan makan, minum, dan bersetubuh sampai sholat Isya atau tidur. Jika mereka telah sholat Isya atau tidur, kemudian bangun maka haramlah bagi mereka semua itu.
Pada suatu waktu, ‘Umar bin al-Khattab bersetubuh dengan istrinya sesudah sholat Isya, dan beliau sangat menyesal atas perbuatan itu dan menyampaikannya kepada Rasulullah SAW.
Maka turunlah ayat ini menjelaskan hukum Allah yang lebih ringan daripada yang telah mereka ketahui dan mereka amalkan.
Bahwa sejak terbenamnya matahari (maghrib) sampai sebelum terbit fajar (Subuh), dihalalkan semua apa yang tidak diperbolehkan pada siang hari pada bulan Ramadhan dengan penjelasan sebagai berikut.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari Ramadhan bersetubuh dengan istri kamu, karena mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati diri kamu, yakni tidak mampu menahan nafsu dengan berpuasa seperti yang kamu lakukan, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi keringanan pada kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan bagimu.”
Artinya sekarang kamu diperbolehkan bersetubuh dengan istri kamu dan berbuat hal-hal yang dibolehkan untuk kamu. Makan dan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu sampai terbit fajar, sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam. Selain dari itu kamu dilarang bersetubuh dengan istrimu ketika kamu sedang beriktikaf di dalam masjid.
Kemudian Allah menutup ayat ini dengan menegaskan bahwa larangan-larangan yang telah ditentukan Allah itu tidak boleh kamu dekati dan janganlah kamu melampaui dan melanggarnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada umat manusia, agar mereka bertakwa.
Dalam penjelasan Tafsir as-Sa’di atau Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad ke-14 Hijriyah. Surah Al-Baqarah ayat 187 dijelaskan seperti ini.
Pada awal-awal diwajibkannya puasa, kaum muslimin diharamkan makan, minum, dan jimak (menggauli istri) pada malam hari setelah tidur.
Namun sebagian muslim merasa kesulitan dengan hal tersebut, maka Allah meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu, yakni makan, minum dan berjimak, baik setelah tidur maupun sebelumnya. Karena mereka tidak dapat menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal.
Dalam ayat ini, Allah SWT mengampuni dengan melapangkan perkara itu bagi mereka. Sekiranya bukan karena kelapangan dari Allah SWT itu, pastilah akan menimbulkan dosa. Allah SWT juga memberikan maaf kepada kamu terhadap apa yang telah berlalu dari perkara kamu tidak mampu menahan nafsu tersebut.
Maka sekarang setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, campurilah mereka (istri), baik berjima, mencium, menyentuh dan sebagainya. Carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.
Artinya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah ketika mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jima tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan-tujuan nikah.
Dan diantara apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian adalah lailatul qadar yang bertepatan dengan malam-malam bulan puasa Ramadhan. Maka seharusnya kalian tidak disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh (dengan tertunda) sedangkan lailatul qadar tidak diperoleh setiap waktu.
Dalam ayat ini juga dijelaskan, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu Fajar. Ini adalah batasan waktu bagi makan, minum, dan berjima.
Ayat ini juga mengandung dalil bahwa apabila seseorang makan atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya Fajar, maka tidak apa-apa baginya.
Ayat ini juga merupakan dalil dianjurkannya sahur dengan adanya perintah dan dianjurkannya untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan oleh-Nya untuk hamba-hamba-Nya.
Ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jima, sedangkan ia belum mandi tapi puasanya tetap sah, karena konsekuensinya bolehnya hingga terbitnya Fajar. Maka ia akan mendapati Fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi kebenaran adalah benar.
Kemudian apabila fajar telah terbit, maka sempurnakanlah puasa itu, yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan hingga malam, yakni terbenamnya matahari.
Ketika bolehnya berjima pada malam-malam puasa bukanlah secara umum bagi setiap orang, di mana seorang yang beritikaf tidaklah halal baginya melakukan hal itu, dan telah dikecualikan dalam Firman-Nya.
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid.” Maksudnya, kalian sedang melakukan itikaf tersebut.
Ayat ini menunjukkan bahwa itikaf itu disyariatkan, dan itikaf itu adalah berdiam di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah dan memusatkan perhatian hanya kepada-Nya, dan bahwasanya itikaf itu tidak sah kecuali dalam masjid.
Dapat dipahami arti masjid di sini adalah masjid yang dipahami oleh mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya sholat lima waktu.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas seperti haramnya makan, minum, berjima, dan macamnya dari pembatal-pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu perkara yang bukan alasan syari, haramnya berjima bagi orang yang melakukan itikaf dan semacamnya di antara hal-hal yang diharamkan, “itulah larangan Allah” yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya.
Kemudian Allah berfirman, “Maka janganlah kamu mendekatinya.” Ungkapan ini lebih kuat daripada perkataan “Maka janganlah kamu melakukannya.” Karena kata mendekati itu meliputi larangan dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang menyampaikan kepada perbuatan tersebut.
Seorang hamba diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan juga meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman kepadanya, “Itulah ketentuan-ketentuan Allah maka janganlah kamu melampaui batasnya.” Allah melarang bertindak melampaui batas padanya. “Demikianlah,” maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan pembalasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas.
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.” Apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka, niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun jika ia mengetahui keharamannya pasti tidak akan dilakukan. Apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka, dan hal itu agar menjadi faktor penyebab ketakwaan. (*/Republika)