1 Keluarga di Lebak Terpaksa Tempati Rumah Dengan Kondisi Atap Jebol
LEBAK – Achmad Fachroni (47), warga Kampung Baru, RT 03/16, Kelurahan Muara Ciujung Timur, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, harus tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah tidak layak huni dengan kondisi atap yang jebol.
Rumah dengan alamat itu terletak hanya beberapa kilometer dari kantor Bupati Lebak, di tengah kota Rangkasbitung.
Rumah tersebut dihuni oleh lima orang, termasuk Achmad, istrinya Wiwin, dua anak mereka, serta seorang adik kandung yang memiliki keterbatasan fisik.
Kondisi rumah sangat memprihatinkan dindingnya rapuh, atap bocor, dan plafon yang nyaris roboh.
Bagian tengah rumah menjadi saksi kerusakan parah, dengan reng kayu yang telah keropos dan berjamur akibat rembesan air hujan.
Atap kamar utama berlubang, sehingga air hujan langsung menggenangi ruangan. Keluarga Achmad terpaksa membungkus pakaian dengan plastik untuk menghindari basah.
Adik kandung Achmad yang tinggal di kamar lain juga menghadapi situasi serupa.
Kamar tersebut menggunakan plastik sebagai pelindung sementara dari air hujan, dengan salah satu sisi rumah hampir ambruk.
Achmad menjelaskan bahwa rumah ini merupakan warisan dari orang tuanya. Meskipun kondisinya sudah tidak layak, ia menolak menjual atau meninggalkannya.
“Saya tidak mau meninggalkan rumah ini, apalagi menjualnya. Banyak kenangan di sini,” ujar Achmad, Rabu (25/12/2024).
Namun, saat hujan deras, keluarganya sering kali harus berjaga semalaman.
“Kalau hujan deras, kami tidak tidur. Semua sibuk mengepel air yang masuk, karena atapnya bocor di semua kamar,” tambahnya.
Achmad bekerja sebagai pengemudi ojek online untuk mencukupi kebutuhan keluarga, namun penghasilannya tidak menentu.
“Kadang ada penghasilan, kadang tidak. Boro-boro memperbaiki rumah, untuk makan sehari-hari saja pas-pasan,” ungkapnya.
Wiwin, sang istri, adalah ibu rumah tangga yang mengurus dua anak mereka. Anak pertama kini duduk di bangku SMP, sementara yang kedua masih berusia taman kanak-kanak.
Achmad juga sempat menerima bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH), namun bantuan itu dihentikan setelah ada laporan dari tetangga yang menganggap keluarganya sudah mampu.
“Pernah dapat PKH sekali, tapi langsung dicabut. Ada yang bilang kami mampu. Mau protes bagaimana? Saya tidak tahu caranya,” keluh Achmad.
Meski hidup dalam kondisi sulit, Achmad tetap optimistis akan masa depan anak-anaknya.
Ia berharap mereka bisa mendapat pendidikan tinggi dan kehidupan yang lebih baik.
“Semoga anak-anak saya bisa sekolah tinggi dan punya masa depan yang cerah. Saya tidak ingin mereka menjalani hidup seperti ini,” tutupnya.(*/Nandi)