LEBAK – Festival Seni Multatuli (FSM) tahun 2018 telah resmi ditutup tadi malam dengan penampilan beberapa musisi, salah satunya band lokal dari KPJ Rangkasbitung. FSM itu sendiri digelar selama empat hari terhitung dari tanggal 6-9 September 2018 dengan berbagai agenda pameran dan seni.
Ada yang menarik, pada siang menjelang sore hari pertama FSM itu sendiri, ada dua tenda yang roboh karena kebetulan diterpa angin dan hujan yang lumayan deras mengguyur wilayah Rangkasbitung dan sekitarnya tepat pada pukul 16.00 wib, dan ada 300 buku mulai terdiri dari sejarah, sastra, dan budaya hampir semua buku basah dalam peristiwa tersebut hanya sisa sedikit buku yang masih terbungkus oleh plastik yang selamat.
Kondisi tersebut banyak orang yang mempertanyakan tentang kejadian menimpa Rangkasbitung saat itu.
Salah satunya penilaian pedas dari Keluarga Mahasiswa Lebak (KUMALA), yang mengecam adanya kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak yang menggiring pemikiran generasi milenial untuk turut serta mengagungkan sosok Multatuli yang diambil dari sebuah nama pena Eduard Douwes Dekker.
Multatuli adalah seorang pria yang berkelahiran Amsterdam 2 Maret 1820 yang pernah menjabat sebagai asisten Wedana Lebak. Dan dinilai oleh aktivis Keluarga Mahasiswa Lebak (KUMALA), bahwa Multatuli tetaplah sebagai seorang penjajah.
“Kami sudah beberapa kali aksi turun ke jalan untuk dapat menyuarakan tentang perjuangan di masa lalu yang pernah digoreskan tokoh pergerakan yang asli pribumi. Kenapa tidak kita abadikan namanya sebagai balas tanda jasa, meskipun itu tak dapat membalas jasa pahlawan yang kini telah gugur setelah berjuang di medan perang bersama melawan penjajah di masa lalu,” ujar Ketua Umum KUMALA, Maman Maulani, kepada faktabanten.co.id, Senin (10/9/2018).
Maman Maulani melanjutkan, maka dari itu kami juga berharap kepada generasi milenial saat ini jangan hanya terpaku oleh acara yang megah yang harus banyak lagi membaca dan mengkaji fungsi sejarah.
“Karena beliau (Multatuli) sebatas pandai dalam literasi atau menulis sastra saja, salah satu karyanya tertuang dalam buku Max Havelaar tak mengubah statusnya sebagai seorang penjajah yang memanfaatkan situasi geografis juga rakyat Lebak pada masa lalu,” tegas Maman.
Hal senada diutarakan juga oleh tokoh pergerakan dan sesepuh Muhammadiyah Banten, Abah Haji Hasan Alaydrus.
“Saya terkadang heran dan bingung pada pemerintah saat ini, sudah jelas dia itu penjajah kenapa mesti dibesarkan? Karena saya tahu dan merasakan pada saat penjajahan itu makanya generasi saat ini mesti tahu dan sadar juga harus melek akan sejarah bukan sekedar menjadi generasi penikmat dan penghancur,” terang Abah Hasan Alaydrus yang merupakan tokoh pendiri KUMALA ini.
Abah Hasan Alaydrus yang juga sebagai tokoh pendiri Provinsi Banten ini berharap, agar generasi muda melek sejarah, dan mau lebih mencintai pejuang negeri sendiri, sehingga lebih bijak dalam mengisi pembangunan di masa depan.
“Biarkan saja Pemerintah Lebak tidak mau mendengarkan apa yang sudah di suarakan tentang sejarah, namun mari kita bangun dan siapkan generasi saat ini yang disebut milenial agar melek dan faham akan sejarah karena sesekali kita ada saat ini jelmaan dari masa lalu yang dikatakan melalui sejarah,” imbuh Abah Hasan. (*/Eza Y,F)