Pemilik Kapal Ikan dan Nelayan di Binuangeun Tolak Kebijakan terbaru KKP-RI

Bawaslu Cilegon Stop Politik Uang

 

PANDEGLANG – Pemilik kapal ikan dan Nelayan di Binuangeun, Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten, menolak kebijakan terbaru Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI), mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Salah satu pemilik kapal nelayan KM Bunga Lestari, Ucum Sumardi, mengatakan bahwa aturan yang dikeluarkan oleh KKP-RI tersebut sangat merugikan para pemilik kapal dan nelayan tradisional atau pelaku usaha perikanan tangkap.

“Kami nelayan yang ada di Banten Selatan khususnya di Binuangeun tidak mendukung adanya peraturan yang dikeluarkan oleh KKP-RI, menurut kami aturan tersebut dapat merugikan nelayan dan pengusaha kapal tradisional, seharusnya pihak Kementerian mengkaji ulang atas sebuah kebijakan ini,dampak dari segi positif dan negatifnya terhadap nelayan,” ujar Ucum, Senin (21/08/2023).

Ucum juga menjelaskan, pemilik kapal dan nelayan tradisional yang ada di Binuangeun merasa keberatan jika harus mengikuti keputusan dari pemerintah pusat terkait pungutan PNPB dari hasil melaut sebesar 5 persen bagi kapal di atas 10 Gross Ton (GT) karena Kapal yang di bawah 10 GT pun operasinya sering di atas 12 mil.

Advert

Sementara itu, salah seorang nelayan Binuangeun, Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Mohamad Nasir, mengatakan, pemilik kapal dan Nelayan tradisional di Binuangeun kecewa atas keputusan KKP-RI terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang merugikan pelaku usaha perikanan tangkap, karena PNBP yang diterapkan oleh kementerian tidak sesuai dengan pendapatan yang didapatkan oleh para nelayan di Binuangeun.

KPU Cilegon Coblos

“Jika pemilik kapal dan Nelayan harus bayar pajak sekitar 5 persen per kilo untuk kapal 10 GT ke atas, pasti nelayan akan merasa keberatan,” ujar Nasir.

Selain itu, aturan pembatasan aktivitas penangkapan ikan di bawah 12 Mil dianggap sangat memberatkan. Karena nelayan kecil nantinya harus menambah biaya operasional 5 persen untuk PNBP sekaligus menambah alat Vessel Monitoring System (VMS) yang harganya mencapai jutaan rupiah.

“Kapal melebihi 12 Mil itu harus pasang VMS namanya, harganya delapan belas juta diperpanjang tiap tahun enam juta lima ratus. Apa mereka nggak memikirkan, kapal di bawah 30 GT bahwa tidak punya kemampuan untuk hal itu,” katanya.

Mewakili nelayan, Nasir berharap kepada pemerintah pusat supaya mengkaji ulang landasan strategi yang diatur oleh KKP-RI terhadap nelayan di Banten supaya ekonomi nelayan bisa bangkit tanpa membuat aturan yang menyiksa masyarakat nelayan.

Dan kata Nasir, ketika ada aturan seperti ini seharusnya pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Banten, melalui Kantor Cabang Dinas (KCD) Wilayah selatan melakukan sosialisasi dulu.

“Jangan tiba-tiba peraturan ini langsung diterapkan ke masyarakat nelayan,” pungkasnya. (*/Fachrul)

PUPR Banten Infografis
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien