Ritual Tanpa Sorak, 1.753 Warga Baduy Bawa Makna ke Jantung Kota Kabupaten Lebak
LEBAK– Tanpa gegap gempita, 1.753 warga Baduy berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kota Rangkasbitung, Jumat (2/5/2025), dalam ritual tahunan Seba Baduy yang penuh makna.
Mereka datang bukan untuk disoraki, melainkan untuk mengingatkan: budaya bukan tontonan, melainkan tuntunan.
Sebanyak 1.683 dari Baduy Luar dan 70 dari Baduy Dalam memadati halaman Pendopo Kabupaten Lebak dengan pakaian adat putih dan hitam yang khas.
Mereka membawa persembahan hasil bumi seperti pisang, gula aren, hingga madu hutan sebagai bentuk ketulusan sekaligus pesan tak tertulis dari alam dan leluhur.
Tak ada teriakan, tak ada keramaian palsu. Yang terdengar hanya langkah kaki dan bisik dedaunan, seolah alam pun menyambut ritual ini dengan keheningan yang khidmat.
“Seba ini bukan sekadar tradisi, melainkan napas kehidupan masyarakat Baduy yang menjaga hubungan dengan alam dan leluhur. Mereka tidak datang membawa tuntutan, tapi amanah,” kata Muhamad Ridwan, warga dan pengamat budaya Lebak yang hadir langsung di lokasi.
Warga sekitar tampak menyambut iring-iringan ini dengan penuh hormat. Ada yang membagikan air minum, ada pula yang hanya menunduk sebagai bentuk penghargaan terhadap sakralitas ritual tersebut.
Ridwan menambahkan, Seba Baduy menjadi pengingat bagi masyarakat modern agar tidak terputus dari akar.
“Kesederhanaan bukan kemunduran. Justru di sanalah letak kekuatannya,” terangnya.
Pemerintah Kabupaten Lebak pun membuka Pendopo sebagai tempat penyambutan dan dialog budaya.
Fasilitas pendukung mulai dari tenda istirahat, pelayanan kesehatan ringan, hingga pengamanan disiapkan demi kelancaran acara.
Seba Baduy tidak hanya menghubungkan kampung dengan kota, atau adat dengan birokrasi, tapi juga hati dengan hati antara manusia, leluhur, dan alam.
Di tengah riuh dunia digital, 1.753 warga Baduy datang dengan sunyi. Dan dari sunyi itu, lahirlah pesan yang paling nyaring: jagalah tradisi, karena di sanalah masa depan berpijak. (*/Sahrul).

