LEBAK – Presiden Joko Widodo mengunjungi salah satu kawasan terdampak pada Selasa (7/1/2019) lalu, tepatnya di Kampung Parakan Santri, Desa Banjar Irigasi, Kecamatan Lebak Gedong.
Di sana Jokowi menyimpulkan kalau bencana terjadi “karena perambahan hutan.” dan “penambangan emas secara ilegal.” Mereka beroperasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
Ia lantas meminta kepala daerah untuk menghentikannya, sebab “enggak bisa lagi karena keuntungan satu, dua, tiga orang, [masyarakat] dirugikan.”
Pernyataan Jokowi ini dikritik Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi. Baginya tidak cukup menyasar tambang-tambang ilegal, dan sama sekali keliru hanya menyalahkan mereka dalam bencana banjir dan longsor.
“Faktanya di Lebak juga terdapat izin usaha pertambangan yang izinnya diberikan pemerintah,” kata Tubagus dikutip dari Tirto, Rabu (8/1/2020).
Tubagus mengatakan pemerintah harus berani mengevaluasi perizinan tambang tersebut, tak peduli apa statusnya.
“Izin yang ada harus dievaluasi dan dicabut karena Lebak merupakan wilayah rawan longsor yang disebabkan oleh berbagai aktivitas eksploitatif,” tegasnya.
Sementara menurut Direktur Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar, pemerintah memang perlu lebih jeli melihat keberadaan tambang ilegal, sebelum menyalahkan mereka sepenuhnya.
Menurutnya belum pernah ada penelitian yang menyimpulkan demikian. Maka aneh jika bencana muncul, ujug-ujug tambang ilegal yang dijadikan ‘kambing hitam’.
Keberadaan para penambang ilegal ini juga tak bisa dilepaskan dari keberadaan tambang-tambang legal yang mulai menambang pada 1970an.
“Dengan kata lain, para penambang ilegal itu tak serta merta ada jika tanpa ‘peran’ dari masa kolonial dan korporasi,” katanya dikutip Tirto.
Melky menjelaskan, sejak PT Antam melakukan pertambangan di kawasan Hutan Gunung Halimun Salak, ada alih fungsi lahan yang cukup besar dan belum ada pengembalian fungsinya hingga saat ini.
“Artinya ada dosa masa lalu gitu loh yang dilakukan oleh korporasi milik negara, dalam hal ini PT Antam itu sendiri, yang tidak melakukan rehabilitasi,” tutur Melky dikutip IDN Times, Kamis (9/1/2020).
1. Ada tiga perusahaan berizin yang melakukan pertambangan di Hutan Halimun Salak
Melky menjelaskan, selain PT Antam, ada dua perusahaan besar lain yang melakukan aktivitas pertambangan di wilayah Hutan Gunung Halimun Salak. Dua perusahaan besar tersebut yaitu PT Putra Samudra dan PT Bara Alam Rekhannussa.
Dalam data yang Melky berikan, pertambangan emas PT Antam terletak di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor dengan luas 6.047 hektare. Lalu, PT Putra Samudra terletak di Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor dengan luas 1.500 hektare. Kemudian PT Bara Alam Rekhannussa berada di Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor dengan luas 130 hektare.
2. Pemerintah dinilai tidak adil dalam menindak hukum aktivitas tambang
Melky menjelaskan, ketiga perusahaan tersebut adalah pertambangan yang memiliki izin dari pemerintah. Sehingga, Melky menyayangkan pernyataan pemerintah yang hanya fokus dan menyudutkan para penambang ilegal saja dalam kasus bencana banjir bandang di Kabupaten Lebak.
“Maksudku adalah benar bahwa penambangan ilegal itu ikut menyumbang penghancuran di kawasan hulu, iya. Tetapi menjadikan mereka satu-satunya pihak yang disalahkan, lalu diberikan tindakan hukum, itu tidak fair,” ujar Melky.
3. Apabila tidak ada tindakan hukum tegas, banjir bandang bisa terjadi kapan saja
Dengan demikian, Melky mendesak pemerintah untuk menindak seluruh pihak yang merusak kawasan hulu tanpa tebang pilih. Bahkan, Melky mendesak pemerintah untuk mencabut izin perusahaan yang melakukan aktivasi di kawasan hulu.
Melky melanjutkan, perusahaan legal juga harus dituntut untuk melakukan rehabilitasi untuk pemulihan atas aktivitas yang mereka lakukan di kawasan Hutan Gunung Halimun Salak.
“Kalau tidak, ini bom waktu jadinya, kalau tidak dilakukan maka tahun depan atau bisa kapan lagi hujan datang lalu terjadi lagi banjir bandang,” tuturnya. Melky lantas mendesak pemerintah “mengevaluasi kebijakan dengan mencabut seluruh izin tambang & WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi), lakukan penegakan hukum, dan pulihkan kondisi sosial-ekologis yang telah rusak.” Menurutnya itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan masyarakat. (*/Net)