4 Potensi Pelanggaran dalam Tahapan Verifikasi Faktual Calon Perseorangan Pilkada
JAKARTA – Pelaksanaan Pilkada serentak akan memasuki tahapan verifikasi faktual calon perseorangan. Berdasarkan jadwal, tahapan verifikasi faktual calon perseorangan akan berlangsung selama 6 hari, yakni 24-29 Juni 2020. Selama tahapan berlangsung, Bawaslu mengantisipasi sejumlah potensi pelanggaran yang mungkin terjadi.
Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, memetakan empat potensi pelanggaran yang bisa terjadi dalam tahapan verifakasi faktual (verfak) dukungan calon perseorangan.
Keempat potensi pelanggaran tersebut berupa Panitia Pemungutan Suara (PPS) tidak melakukan verifikasi; pendukung membantah memberikan dukungan dan mengisi pernyataan tidak mendukung; pendukung yang berstatus sebagai penyelenggara pemilihan; serta pendukung yang berstatus TNI, Polri, ASN, dan kepala desa.
Pada potensi pelanggaran pertama, Dewi menjelaskan apabila PPS tidak melakukan verifikasi adalah pelanggaran karena secara eksplisit disebutkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan ancaman pidana yang bisa diberikan sebagai sanksi.
“PPS dapat diduga melakukan pelanggaran etika, dan bisa dikenakan pidana pasal 185 B dan 186 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” ujar Dewi dalam Rakornas Daring Persiapan Pengawasan Verifikasi Faktual, Senin (22/6/2020).
Potensi pelanggaran kedua, menurut Dewi, pendukung membantah memberikan dukungan dan mengisi pernyataan tidak mendukung (Form BA 5 KWK Perseorangan). Masalah hukum yang muncul dari hal ini adalah bakal calon atau tim diduga telah melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen.
Ketiga, pendukung yang berstatus sebagai penyelenggara pemilihan. Dewi menegaskan, penyelenggara pemilihan dapat diduga telah melakukan pelanggaran etika dalam bentuk tidak netral atau partisan.
“Ini ada prinsip pelanggaran kode etik,” ujarnya.
Potensi pelanggaran keempat, pendukung yang berstatus TNI, Polri, ASN, dan kepala desa. Persoalan ini bisa memunculkan masalah hukum karena melanggar ketentuan lain yang mengatur soal netralitas TNI, Polri, ASN dan kepala desa.
Menurut Dewi, tujuan pelaksanaan verifikasi faktual adalah mengecek kebenaran data pendukung dengan metode sensus yakni dengan menemui langsung setiap pendukung.
Karena itu, terdapat tiga hal nanti yang akan dipastikan selama verifikasi faktual berlangsung, yakni memastikan nama, alamat pendukung, dan kebenaran dukungan.
Dewi mengingatkan pengawas pilkada untuk mencermati dan memastikan pendukung itu bukan dari kalangan TNI, Polri atau ASN. Selain itu, pendukung yang terdaftar bukan dari unsur kepala desa, penyelenggara pemilu, dan memberikan dukungan tidak lebih dari satu pasangan calon.
“Nah ini harus dipastikan dalam proses verfak untuk memastikan akurasi keabsahan kebenaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Dewi.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan meminta, Bawaslu daerah mematangkan persiapan pengawasan verifikasi faktual yang akan di mulai besok. Meskipun Peraturan KPU (PKPU) terkait pelaksanaan pilkada di tengah bencana nonalam masih dikonsultasikan ke DPR dan pemerintah, Abhan menegaskan, tidak ada alasan bagi pengawas pemilu tidak melakukan tugasnya sebelum terbit PKPU terbaru.
“Saya kira PKPU-PKPU yang ada masih menjadi norma hukum dan menjadi pedoman kita. Misalnya PKPU 18/2019 tentang Pencalonan masih menjadi pedoman kita melakukan pengawasan serta Perbawaslu pengawasan pencalonan ditambah Surat Edaran KPU yang dikeluarkan 19 Juni,” terang Abhan.
Abhan juga mengingatkan adanya tambahan tugas para pengawas pemilu di tingkatan Ad hoc dalam tahap verfak kali ini. Selain mengawasi tahapan elektoral, para pengawas pemilu juga harus mengawasi hal-hal yang bersifat non-elektoral berupa memastikan protokol kesehatan covid-19 dipakai para petugas KPU ketika melakukan tahapan elektoral.
“Jadi tugas bapak/ini Ini khususnya di tingkat bawah ada tambahan tugas. Karena itu (protokol Covid-19) menjadi bagian dari regulasi, maka juga menjadi bagian yang harus diawasi,” tegas Abhan.
Abhan juga mengingatkan pada tahapan pilkada kali ini ada koordinasi pengawasan yang masif antara divisi pengawasan dan sosialisasi, divisi penyelesaian sengketa, dan divisi penindakan. Alasannya, pengawasan khususnya verfak pencalonan berpotensi memunculkan sengketa proses di Bawaslu.
Karena itu hasil pengawasan penting untuk memastikan bahwa verifikasi faktual dukungan perseorangan dan nantinya soal tahapan pencalonan ini, jajaran KPU bekerja sesuai aturan agar bisa meminimalisir adanya sengketa proses di Bawaslu.
“Jadi saya kira perlu adanya koordinasi dalam pengawasan antara tiga divisi ini,” pungkasnya. (*/Red/Net)