Begini Cara Perlakuan Narapidana dalam Peradaban Islam
FAKTA BANTEN – Kisah pedih perlakuan tak manusiawi yang diterima oleh para tawanan di Penjara Guantanamo, Kuba, dan Abu Ghraib, Irak. Kisah berbeda justru ketika peradaban Islam memperlakukan tawanan.
Sederet tindakan zalim terhadap para narapidana (napi) tersebut, kata Guru Besar Peradaban Islam Universitas Khortoum, Sudan, Syekh Abdul Hayy Yusuf, kembali mengingatkan kembali dunia akan keluhuran Islam dalam memperlakukan tawanan.
Melalui makalahnya yang berjudul “Ad Dhawabith As-Syar’iyyah fi Muamalat al-Asra”, ia mengemukakan apa saja prinsip dan etika yang diterapkan Islam atas para napi. Prinsip mendasar sikap Islam terhadap para napi ialah perlakuan baik. Itu seperti ditegaskan oleh Rasulullah SAW usai Perang Badar. Rasul berpesan agar memperlakukan mereka dengan baik.
“Janganlah berbuat jahat kepada mereka,”sabdanya.
Keluhuran nilai Islam memperlakukan para napi itu, konon menarik simpati dan mendatangkan hidayah bagi para kafir Quraisy. Salah satunya ialah Tsamamah bin Atsal.
Ia tertangkap dalam peperangan Badar lalu ditawan di Masjid Nabawi. Ia diperlakukan sangat manusiawi. Makan dan minumnya terjamin. Bahkan, Rasulullah SAW rutin menegurnya selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya, Tsamamah dilepaskan. Ia pun masuk Islam.
Ia menegaskan bahwa perlakuan baik yang ditujukan kepada para napi merupakan tuntunan Islam yang luhur. Ini sesuai dengan seruan dalam Alquran. Perlakuan yang bermartabat itu meliputi jaminan atas makanan, minuman, pakaian, obat-obatan, dan ucapan yang pantas.
Pemenuhan konsumsi bagi para tahanan merupakan kelaziman yang harus dipenuhi oleh otoritas setempat. Rasulullah dan para sahabat konon selalu memberi makan pagi dan malam bagi para tahanan dengan menu yang sama, seperti roti dan kurma. “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS al-Insaan [76]: 8).
Demikian pula, soal pakaian. Imam Bukhari menulis secara khusus bab tentang tuntunan memberikan sandang bagi para napi di kitab al Jami’ as-Shahih-nya, yaitu bab “Al Kiswah lil Usara”. Seperti diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ketika itu Abbas pernah ditahan dalam Perang Badar.
Abbas tak memiliki baju. Para sahabat melihat ada pakaian milik Abdullah bin Ubay yang seukuran. Nabi akhirnya memberikan baju itu untuk Abbas.
Pun demikian soal hunian. Meskipun mereka merupakan para napi, sepatutnya sel yang mereka huni tiap hari minimal laik. Bahkan, di zaman sahabat dulu, mereka ada yang ditahan di masjid atau di kediaman mereka.
Islam, lanjut Syekh Abdul Hayy, menekankan pula agar menghindari bentuk penyiksaan apapun yang diperuntukkan bagi para tahanan. Rasulullah pernah melarang Umar bin Khatab saat hendak mencabut bulu alis mata seorang tawanan.
“Jangan wahai Umar, Aku tidak mengizinkannya,” titah Rasul.
Sekalipun, misalnya siksaan tersebut bertujuan untuk mengorek informasi penting dari tawanan. Siksaan untuk menggali rahasia itu tidak diperkenankan. Imam Malik pernah menegaskan larangan tersebut saat ditanya tentang siksaan kepada tawanan untuk sebuah informasi. “Saya tak pernah mendapatkan legalitasnya,” kata Imam Hijaz tersebut.
Selain itu, berikan hak tawanan untuk berbicara atau berkomunikasi dengan pengacara, misalnya. Hak tersebut seperti yang dicontohkan Rasulullah terhadap Tsamamah. Rasul memberikan hak para tawanan untuk menyampaikan aspirasi mereka. Menghalangi hak komunikasi atau sekadar cuek adalah bentuk penghinaan luar biasa terhadap napi.
Tak kalah penting, yakni edukasi dan sosialisasi mereka terhadap keluhuran Islam. Bagaimana menyampaikan pelajaran tentang hakikat Islam, tanpa ada paksaan. Ini penting. Bila sang napi Muslim maka pendekatan spiritual semacam ini akan lebih memperkuat rohani dan mengembalikannya ke arah yang benar.
Jika ia non-Muslim maka akan menarik simpati mereka. Ini seperti yang dilakukan Raslullah terhadap Bani Musthaliq dan penduduk Tsaqif serta Hauzan. (*/Republika)