Cara Negara Menguasai Narasi Ciptaker: Sembunyikan Dokumen Final
JAKARTA – Keberadaan dokumen final UU Cipta Kerja masih juga menjadi misteri setelah disahkan di DPR RI dalam sidang paripurna Senin (5/10/2020) lalu. Anggota DPR termasuk anggota Badan Legislasi (Baleg) yang menggodok peraturan itu, bahkan tak tahu keberadaannya. “Sampai tadi pagi kami tanya sekretariat belum ada,” aku anggota Baleg DPR dari fraksi PKS Ledia Hanifa kepada wartawan, Kamis (8/10/2020).
Anggota Komisi XI DPR RI Didi Irawadi Syamsuddin pun mengatakan belum memegang naskah final UU Cipta Kerja. Ia bahkan menyatakan tidak menerima naskah final pada sidang paripurna. Ini kali pertama terjadi selama ia menjabat sebagai legislator tiga periode.
“Bahan-bahan untuk rapat tingkat komisi dan badan saja kami bisa mendapatkannya beberapa hari sebelumnya. Kenapa justru RUU omnibus law Ciptaker yang berdampak luas pada kehidupan kaum buruh, UMKM, lingkungan hidup, dll tidak tampak naskah RUU-nya sama sekali?” kata dia lewat keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).
Ketika naskah final belum tersedia, para menteri malah menjelaskan isi UU Ciptaker dua hari lalu (7/10/2020). Semua bernada positif dan bertolak belakang dengan apa yang disampaikan kelompok penolak. Dalam forum itu mereka membantah semua informasi yang disampaikan oleh oposisi. Masalahnya publik tak bisa memverifikasi karena sekali lagi tak ada dokumen resmi yang dapat diakses.
“Bagaimana mau berpartisipasi kalau naskah akademiknya disembunyikan atau mana draf yang tidak jelas, mana yang asli, mana yang setengah asli, mana yang palsu, mana draf yang aktual, mana yang tengah, dan mana yang akhir?” kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang Fery Amsyari.
Melanggar Hukum dan Rawan
Fery menyimpulkan undang-undang sapu jagat ini cacat prosedural. Ia melanggar Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terang menyatakan salah satu asas penyusunan undang-undang adalah keterbukaan.
Semestinya, sejak proses penyusunan, naskah akademik dan draf rancangan undang-undang terbaru selalu dibagikan ke publik. Jika tidak dilakukan, akan berakibat pada hilangnya hak partisipasi masyarakat. Sikap tersebut berkonsekuensi hukum. Selain berpotensi dijegal oleh Mahkamah Konstitusi lewat judicial review, cacat prosedur itu juga bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tindakan malaadministrasi.
“Dari sudut administrasi, kalau tidak taat prosedur maka produk yang dihasilkan itu cacat atau dianggap tidak pernah ada. Konsekuensinya batal demi hukum,” kata dia. Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus khawatir ketiadaan draf final akan memicu titip-menitip pasal yang akhirnya membelakangi keterbukaan ke publik.
“Tak hanya otak-otik, kemungkinan mentransaksikan pasal-pasal juga sangat terbuka,” katanya.
“Dugaan atau tuduhan di atas bukan isapan jempol. Utak-atik atau jual beli pasal sudah pernah terjadi sebelumnya. Dilakukan menjelang paripurna, tiba-tiba ada pasal selundupan dimasukkan.
“Menurutnya, tak ada alasan selain marah terhadap situasi ini. Sebab, “bagaimana mungkin sebuah lembaga tinggi negara bisa main-main mengesahkan sesuatu yang akan mempunyai efek luas bagi seluruh rakyat?” Perkara otak-atik pasal ini diakui langsung oleh Ketua Komisi X DPR RI Syamsul Huda.
Ia terkejut karena klaster pendidikan kembali muncul dalam draf RUU Cipta Kerja padahal dalam rapat sebelumnya (24/9/2020) Baleg dan Kemendikbud sepakat mencabutnya. Pasal 26 RUU Ciptaker memasukkan pendidikan sebagai entitas usaha; pasal 65 menegaskan itu dengan menyatakan pelaksanaan izin di sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Ini bertentangan dengan prinsip nirlaba pendidikan.
“Ini di luar dugaan, karena perkembangan terakhir klaster pendidikan dikeluarkan dari RUU tersebut,” ujar ketua komisi di bidang pendidikan itu. Namun, Menko Airlangga Hartarto menepis hal itu. Ia katakan ketentuan soal pendidikan sudah disingkirkan dari Cipta Kerja. Sekali lagi pemerintah coba menguasai narasi mengenai Cipta Kerja tanpa bisa diverifikasi.
Anggota Baleg DPR RI Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo angkat suara mengenai belum dibukanya dokumen final. Menurutnya saat ini legislatif masih merapikan naskah RUU Cipta Kerja dari kesalahan ketik dan kesalahan teknis lain, tiga hari setelah peraturan disahkan.
Rahasia Sejak Awal Pembahasan Cipta Kerja memang sudah tertutup sejak awal. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan sampai mengirim surat permohonan keterbukaan informasi publik atas salinan draf ke Kementerian Koordinator Perekonomian, Sekretariat Negara, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam), serta Kementerian Hukum dan HAM.
Hasilnya? Nihil.
Kemenkopolhukam menyatakan prosesnya memang bersifat rahasia; Kemenkumham hanya membalas normatif perihal keterlibatan mereka; Sekneg tidak membalas; sementara Kemenko Perekonomian baru membalas setelah draf diunggah di laman resmi mereka.
“Di awal-awal saja sudah dibilang sifatnya rahasia, kemudian lama balasnya. Kemudian kami bingung setelah itu dikeluarkan, apakah itu draf yang final atau bukan,” kata peneliti Kontras, Rivanlee. (*/Tirto)